Berusia Lebih dari 26 Tahun, Apakah Pesawat Sriwijaya Air yang Jatuh Layak Terbang?

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Pesawat Boeing 737-500 milik Sriwijaya Air jatuh beberapa saat setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta di sekitar Kepulauan Seribu pada Sabtu sore, 9 Januari 2021. Sudah berusia lebih dari 26 tahun, apakah pesawat tersebut masih layak terbang?

Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Republik Indonesia No. 115/2020 tentang Batas Usia Pesawat Udara yang Digunakan untuk Kegiatan Angkutan Udara Niaga, pesawat milik Sriwijaya Air itu lebih tua enam tahun dari batasan yang ditetapkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Kemenhub mengatur batas usia pesawat yang didaftarkan dan dioperasikan pertama kali di wilayah Indonesia dengan ketentuan pesawat terbang kategori transportasi untuk angkutan penumpang paling tinggi berusia 20 tahun. Aturan ini sudah dilonggarkan dari kebijakan sebelumnya di mana batas maksimal usia pesawat adalah 15 tahun.

Pesawat Sriwijaya Air dengan call sign SJY 182 itu pertama kali dikirim Boeing ke maskapai penerbangan Continental Air Lines (Amerika Serikat) pada 31 Mei 1994. Sejak itu, Continental Air Lines mengoperasikan pesawat tersebut sampai 2010 sebelum berpindah kepemilikan ke United Airlines. Dua tahun berselang, Sriwijaya Air menjadi pemilik pesawat tersebut pada 15 Mei 2012.

Meskipun pesawat terbang di Indonesia berusia lebih dari 20 tahun dan tidak memenuhi peraturan, pada dasarnya kelayakan pesawat terbang tidak dibatasi oleh usia pakai. Kemenhub menyatakan, kelayakan pesawat didukung dengan pemeriksaan dan pengecekan rutin yang dilakukan secara berkala, baik setiap hari maupun setiap pekan.

Hal serupa juga dikatakan Bruce Landsberg, mantan presiden Aircraft Owners and Pilots Association’s Air Safety Institute. Menurutnya, hal terpenting untuk mengetahui layak atau tidaknya pesawat terbang berdasarkan perawatannya. Perawatan pesawat secara konsisten merupakan kunci usia pesawat. Selama menjalani perawatan, pesawat wajib mengganti komponen setelah sekian waktu dan melewati pemeriksaan serta pengawasan ketat yang dilakukan secara teratur.

Hingga kini, masih banyak pesawat terbang yang berusia 20 hingga 30 tahun masih digunakan di berbagai negara. Dikutip dari Condé Nast Traveler, Boeing dan Airbus membangun pesawat yang bisa bertahan lama karena harganya yang mahal sehingga harus dibuat lebih kuat dari yang diperlukan.

Sementara itu, Flexport menyebut kalau rata-rata pesawat saat ini dapat beroperasi paling lama 30 tahun sebelum harus dipensiunkan. Sebagai contoh, sebuah Boeing 747 bisa melakukan total 35.000 penerbangan, atau sekitar 135.000 sampai 165.000 jam terbang sebelum mengalami kelelahan mental. Boeing 747 rata-rata melayani penerbangan selama 27 tahun sebelum pensiun. Sementara pesawat-pesawat berbadan lebar, seperti Lockheed Tri-Star, punya usia pakai yang lebih singkat yakni rata-rata 24 tahun.

Di Indonesia, pesawat terbang yang dioperasikan bisa dikatakan lebih berumur dibanding pesawat luar negeri. Berdasarkan data dari The Airline Monitor, rata-rata usia pesawat terbang yang beroperasi di Amerika Serikat sekitar 14 tahun. Sedangkan di Singapura usia pesawat-pesawatnya terbilang muda, dengan rata-rata di bawah delapan tahun.

Oleh karena itu, kelayakan pesawat terbang tidak dapat diukur sepenuhnya berdasarkan usia pakainya, melainkan proses perawatannya. Akan tetapi, pandemi COVID-19 yang saat ini melanda dunia memberi sedikit banyak pengaruh.

Berbagai maskapai penerbangan global menjadi salah satu industri yang terdampak paling parah. Di Indonesia, tercatat sejak Maret hingga Juli 2020 lalu, lebih dari seratus pesawat hanya terparkir dan tidak dioperasikan di Bandara Soekarno-Hatta.

Tidak beroperasinya pesawat dilatarbelakangi oleh merosotnya permintaan, perlunya perawatan berkala, serta persoalan mitra dengan maskapai masing-masing. Kendati demikian, Agustus menjadi titik balik bagi penerbangan Indonesia yang perlahan mengembalikan kondisinya.

Melansir The Economist, maskapai penerbangan asing mendapat suntikan dana dan pinjaman federal dari pemerintah, seperti beberapa maskapai penerbangan di Amerika Serikat. Meskipun begitu, nasib maskapai penerbangan tetaplah terlunta-lunta. Skala yang masif dan penyebaran COVID-19 ke berbagai penjuru dunia menjadi krisis yang hampir ‘mematikan’ berbagai sektor industri.

Namun, pengaruh pandemi COVID-19 di Indonesia tidak dapat serta-merta dikaitkan dengan peristiwa jatuhnya pesawat terbang Sriwijaya Air. Banyak hal lain yang perlu diketahui dan diperiksa lebih lanjut mengenai kegagalan terbang pesawat tersebut.

Reporter: Safira Ginanisa/Marlisa Amelia 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Bersinergi Menjaga Netralitas Pemilu Demi Pilkada yang Berkualitas

Jakarta - Netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi perhatian utama dalam menjaga kualitas Pilkada Serentak 2024. Badan Pengawas Pemilu...
- Advertisement -

Baca berita yang ini