Awalnya Huruf Braille Digunakan Tentara Napoleon untuk Berkirim Pesan

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Huruf braille adalah tulisan sentuh penyandang Tuna netra untuk membaca. Bentuknya seperti pola titik-titik timbul di kertas, dan cara membacanya adalah dengan menyentuh pola tersebut menggunakan jari.

Anehnya, penemu huruf braille ini bukanlah penyandang disabilitas netra. Ia Kapten Charles Barbier, seorang mantan perwira artileri Napoleon. Namun kala itu pola huruf dan titik tersebut namanya belum huruf braille.

Barbier memang sengaja menggunakan pola-pola berupa garis dan titik timbul yang tersusun menjadi sebuah kalimat untuk memberikan perintah dan bertukar pesan dengan serdadunya di malam hari. Tujuannya tak lain agar tidak memerlukan bantuan cahaya lagi untuk membaca.

Di samping itu, pola garis dan titik ini bisa menjadi alternatif untuk mengirim pesan rahasia. Tulisan ini terkenal dengan sebutan night writing atau tulisan malam.

Namun pada akhirnya, Louis Braille, seorang tuna netra asal Prancis menggunakan pola-pola dan garus ini supaya ia bisa membaca.

Sebenarnya ia bukan seorang tuna netra sejak lahir. Namun saat usianya tiga tahun, ia mengalami kecelakaan yang membuat matanya tertusuk jarum hingga mengakibatkan kebutaan permanen.

Untuk menyesuaikan kebutuhan matanya, saat usianya 15 tahun, Braille membuat sebuah pola garis dan titik sebagai bahan percobaan yang nantinya akan ia uji bersama beberapa kawan Tuna Netra.

Setelah melakukan berbagai pengujian, ternyata mereka lebih peka terhadap titik. Sehingga akhirnya huruf braille hanya menggunakan kombinasi titik dan spasi saja. Dan untuk pertama kalinya, tulisan braille berfungsi untuk mengajar siswa-siswa disabilitas netra di L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles, Paris.

Namun di Prancis, gagasan braille ini menuai kontroversi mengenai kegunaannya. Banyak yang menganggap bahwa sistem penulisan dan cara membaca braille yang tidak lazim, sehingga sulit untuk meyakinkan masyarakat mengenai kegunaannya.

Akibat kontroversi ini, Dr Pignier selaku Kepala Lembaga L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles pun berhenti. Posisinya tergantikan oleh Dr. Dufau, seorang Asisten Direktur L’Institution Nationale des Jeunes Aveugles. Dan ia menjadi salah satu penentang huruf braille.

Bahkan, untuk memperkuat gerakan anti-braille, kala itu Dr Dufau sampai melakukan penyitaan dan pembakaran semua buku dan salinan dalam huruf braille. Namun di tahun 1847, penggunaan huruf braille akhirnya menjadi kewajiban karena desakan kebutuhan dari murid Tuna Netra yang semakin berkembang.

Empat tahun berikutnya, huruf braille diajukan kepada pemerintah Prancis untuk mendapatkan pengakuan secara sah dari pemerintah. Sejak saat itulah, penggunaan huruf ini mulai berkembang luas hingga mencapai negara-negara lain.

Di akhir abad ke-19, huruf braille diakui secara universal dan resmi diberi nama “huruf braille”. Pada tahun 1956, Dewan Dunia untuk Kesejahteraan Tunanetra (The World Council for the Welfare of the Blind) menjadikan bekas rumah Louis Braille yang terletak di Coupvray, 40 km sebelah timur Paris, sebagai museum.

Tepat 4 Januari hari ini sekaligus peringatan sebagai Hari Braille Sedunia. Melansir dari www.nbp.org penggunaan hurup braille sudah menyebar ke seluruh dunia dan bahasanya sesuai dengan masing-masing wilayah.

Masa Kini

Pesatnya perkembangan teknologi membuat huruf braille lambat laun tergeser oleh kecanggihan teknologi. Dikutip dari tempo.co, Yulianto, seorang penyandang Tuna Netra yang tergabung dalam sebuah proyek nirlaba di Solo yang memproduksi audiobook sastra, mengatakan bahwa ia sedih dengan kondisi ini. Karena bagaimana pun huruf braille adalah bagian dari penyandang disabilitas netra.

Ia mengatakan, kondisi ini menyebabkan banyak disabilitas netra muda yang kesulitan membaca tulisan braille lantaran sudah terbiasa menggunakan teknologi digital yang mendukung basis braille.

Untuk membaca satu paragraf saja mereka memerlukan waktu 20 – 30 menit. Mengenai lunturnya penggunaan huruf braille, sebenarnya ada dua faktor yang melatarbelakanginya.

Faktor pertama, kebutaan para disabilitas ini karena penyakit dan kecelakaan, bukan karena sejak lahir. Akibatnya, kepekaan mereka dalam meraba huruf braille tidak sekuat mereka yang memang buta sejak lahir.

Faktor kedua, mayoritas penyandang Tuna Netra adalah generasi milenial (1980 – 1990an) dan generasi Z (1995 – 2014), di mana mereka tumbuh di era kebangkitan teknologi digital.

Huruf braille memang menjadi standars pendidikan dasar bagi Tuna Netra. Namun, di masa kini huruf braille hanya sekadar simbol semata dan penggunaanya sudah jarang. Braille hanya digunakan dalam kegiatan-kegiatan formal saja seperti saat pemilu.

Yulianto memang menguasai huruf braille, namun ia mengaku lebih leluasa dan nyaman membaca dan menulis menggunakan aplikasi di gadget dan komputer yang mendukung basis braille.

Ia beralasan, menulis menggunakan braille bisa menghabiskan tiga hingga empat lembar kertas. Sedangkan jika menulis di aplikasi di gadget atau komputer hanya menghabiskan satu halaman saja sehingga lebih efisien.

Alasan lain yang juga makin melunturkan penggunaan tulisan braille adalah terbatasnya jumlah buku bacaan dalam huruf braille. Menurut Agatha Febriany, salah satu disabilitas netra yang aktif di Pusat Pengembangan dan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat atau PPRBM Solo, =keterbatasan inilah yang membuatnya harus mengandalkan aplikasi pembaca layar atau screen reader di gadget. Atau komputer jika ingin membaca buku-buku sastra.

Reporter: Intan Nadhira Safitri

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Tindakan OPM Semakin Keji, Negara Tegaskan Tidak Akan Kalah Lawan Pemberontak

Organisasi Papua Merdeka (OPM) banyak melancarkan aksi kekejaman yang semakin keji. Maka dari itu, negara harus tegas untuk tidak...
- Advertisement -

Baca berita yang ini