5 Fakta Menarik Tentang Sumpah Pemuda, Yuk Simak!

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Tak dipungkiri, pemuda memiliki peran yang sangat penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya tercantum dalam Sumpah Pemuda yang turut menjadi tonggak utama pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Sumpah Pemuda yang merupakan ikrar tersebut dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.

Meski berlangsung secara resmi, dalam praktiknya kongres yang akhirnya menghasilkan ikrar Sumpah Pemuda ini rupanya dibumbui dengan banyak hal menarik. Berikut lima fakta menarik Sumpah Pemuda.

  1. Awalnya tidak memiliki nama “Sumpah Pemuda”

Sumpah Pemuda kini dikenal sebagai tonggak sejarah pergerakan kemerdekaan. Namun pada saat kongres berlangsung, rumusan yang ditulis oleh Mohammad Yamin itu tidak disebut sebagai Sumpah Pemuda.

Meski telah dibacakan pada kongres, rumusan ikrar itu tidak memiliki judul tertentu. Istilah Sumpah Pemuda baru muncul setelah kongres berlangsung beberapa hari. Akan tetapi, peringatan Sumpah Pemuda tetap didasarkan pada tanggal pembacaan ikrar, yakni 28 Oktober.

  1. Bahasa Belanda Mendominasi

Pada saat kongres berlangsung, rupanya bahasa Belanda masih mendominasi pembicaraan. Sebagian pembicara dalam Kongres Pemuda II menggunakan bahasa Belanda, misalnya Siti Soendari yang turut menyampaikan pidatonya dalam kongres itu.

Tak hanya pembicara, notulen rapat dalam kongres pun ditulis menggunakan bahasa Belanda. Meski begitu ada juga yang mahir berbahasa Melayu yang kelak menjadi bahasa Indonesia, yakni Mohammad Yamin.

  1. Lagu Indonesia Raya Dibawakan Penciptanya Tanpa Syair

Kongres Pemuda juga dihadiri oleh Wage Roedolf Soepratman yang populer berkat lagu kebangsaan ciptaannya, Indonesia Raya. Pada saat itu ia telah menciptakan lagu tersebut dan membawakannya dalam kongres.

Sayangnya kongres itu dijaga ketat oleh kepolisian Belanda sehingga menimbulkan kekhawatiran jika kata Indonesia dan Merdeka dalam syair lagu menimbulkan konflik. Alhasil WR Supratman hanya membawakan lagu Indonesia Raya ciptaannya dengan irama biola saja. Kesempatan ini turut menandai kali pertama lagu Indonesia Raya dibawakan oleh penciptanya.

  1. Hanya 6 Perempuan yang Ikut Kongres

Peran perempuan dalam Kongres Pemuda II tidak begitu menonjol. Begitu pula dengan jumlah peserta pemudi yang hadir dalam kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda tersebut.

Berdasarkan buku resmi Panduan Museum Sumpah Pemuda, peserta kongres yang tercatat hanya ada 82 orang. Padahal sejatinya ada 700-an peserta yang hadir di gedung yang digunakan untuk melangsungkan kongres.

Peserta perempuan sendiri hanya ada enam orang, yaitu Dien Pantow, Emma Poeradiredjo, Jo Tumbuan, Nona Tumbel, Poernamawoelan, dan Siti Soendari. Dari keenam peserta perempuan tersebut, hanya tiga peserta yang turut menyampaikan pidatonya dalam kongres, yakni Mardanas Safwan, Emma Poeradiredjo dan Siti Soendari.

  1. Tidak boleh ada kata Merdeka

Kongres Pemuda II dijaga ketat oleh kepolisian Belanda. Saat kongres berlangsung, para peserta tidak diizinkan menyuarakan kata merdeka. Kata tersebut pada saat itu memang merupakan kata ‘terlarang’. Untungnya, meski peserta yang hadir merupakan dara muda, mereka masih bisa mengkondisikan diri.

Cerdiknya mereka juga mampu merumuskan Ikrar atau Sumpah Pemuda yang menjadi pergerakan kemerdekaan meski tanpa penggunaan kata merdeka. Larangan kata meredeka pada saat itu juga turut menjadi alasan lagu Indonesia Raya yang didendangkan oleh WR Supratman, hanya dibawakan dengan iringan biola tanpa menyertakan syair.

Reporter : Nabila Kuntum Khaira Umma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Waspada Hoaks OPM, TNI : Rumah Bupati Puncak yang Dibakar Bukan PosMiliter

Oleh: Loa Murib Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menunjukkan pola lama merekadalam menutupi aksi brutal yang dilakukan terhadap masyarakat sipil. Dalam upayamembenarkan tindak kekerasan, OPM menyebarkan disinformasi bahwa rumah milik BupatiPuncak dan kantor Distrik Omukia yang mereka bakar di Papua Tengah merupakan pos militeryang digunakan oleh TNI. Tuduhan tersebut segera dibantah secara resmi oleh pihak militer danterbukti tidak memiliki dasar fakta. TNI melalui Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Kolonel Infanteri CandraKurniawan, memberikan klarifikasi bahwa bangunan yang dibakar oleh OPM tidak difungsikansebagai markas militer. Tindakan pembakaran itu murni merupakan aksi kriminal yang disengajauntuk menciptakan ketakutan, mengganggu ketertiban umum, dan mencoreng wibawa negara di mata masyarakat Papua. Bantahan ini menjadi penegasan bahwa OPM kembali menggunakanstrategi disinformasi untuk mengaburkan realitas dan membangun opini publik yang menyesatkan. Disinformasi semacam ini memperjelas bahwa OPM tidak hanya mengandalkan kekerasanbersenjata, tetapi juga propaganda informasi sebagai instrumen perlawanan mereka. Merekamenciptakan narasi seolah-olah aparat keamanan adalah pihak yang menyebabkan keresahan, padahal masyarakat sipil justru menjadi korban utama dari aksi teror yang dilakukan olehkelompok tersebut. Manipulasi informasi yang dilakukan OPM jelas bertujuan untuk merusakkepercayaan publik terhadap negara dan aparat keamanan. Kejadian yang menimpa Kabupaten Yahukimo menjadi contoh konkret betapa kejamnya aksiOPM. Dalam serangan yang dilakukan belum lama ini, seorang pegawai honorer PemerintahKabupaten Yahukimo tewas akibat kekerasan yang mereka lakukan. Insiden ini menunjukkanbahwa OPM telah melampaui batas kemanusiaan dan menjadikan nyawa warga sipil sebagai alattawar dalam narasi perjuangan mereka yang keliru. Merespons insiden tersebut, aparat gabungan dari Satgas Operasi Damai Cartenz bergerak cepatbegitu mendapat laporan dari jajaran Polres Yahukimo. Tim langsung turun ke lokasi kejadian, melakukan evakuasi korban ke RSUD Dekai, mengamankan tempat kejadian perkara, sertamengumpulkan bukti-bukti untuk mengungkap pelaku. Kecepatan ini menunjukkan bahwanegara tidak tinggal diam dalam menjamin perlindungan bagi rakyat, dan siap menghadapisegala bentuk teror yang mengancam stabilitas wilayah. Kepala Operasi Satgas Damai Cartenz, Brigjen Pol Faizal Ramadhani, menegaskan bahwaseluruh aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis akan ditindak secara tegas sesuaihukum. Penegakan hukum ini bukan hanya penting untuk memberikan keadilan bagi para korban, tetapi juga menjadi pernyataan tegas bahwa kekuatan bersenjata tidak akan dibiarkanmerusak keutuhan dan kedamaian di Papua. Kekejaman OPM, yang ditunjukkan melalui aksi pembakaran, pembunuhan, serta provokasiberulang, memperlihatkan bahwa kelompok ini bukanlah representasi perjuangan rakyat Papua. Sebaliknya, mereka adalah ancaman nyata yang menghalangi pembangunan dan menimbulkanketakutan di tengah masyarakat. Klaim mereka sebagai pembebas Papua tidak sejalan dengankenyataan bahwa mereka justru memperparah penderitaan rakyat melalui aksi-aksi brutal yang dilakukan. Kasatgas Humas Damai Cartenz, Kombes Pol Yusuf Sutejo, mengimbau masyarakat untuk tidakterprovokasi oleh informasi yang belum terverifikasi. Ia menegaskan bahwa perlindunganterhadap masyarakat sipil menjadi prioritas utama. Dalam situasi seperti ini, partisipasi aktif dariwarga untuk melaporkan aktivitas mencurigakan di lingkungannya menjadi elemen pentingdalam menjaga keamanan. Negara juga terus menunjukkan komitmennya untuk hadir tidak hanya melalui pendekatankeamanan, tetapi juga melalui pembangunan yang merata dan berkelanjutan. Berbagai program pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi telahdigulirkan sebagai bentuk nyata perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat Papua. Kehadiran negara di Papua bukanlah dalam bentuk represi, tetapi dalam wujud pelayanan danpemberdayaan. Narasi OPM yang menyebut Papua berada dalam penjajahan adalah bentuk manipulasi sejarah. Papua merupakan bagian sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan hal itu telahditegaskan melalui proses hukum dan politik yang diakui secara nasional maupun internasional. Setiap upaya untuk memisahkan diri dari Indonesia, apalagi melalui kekerasan bersenjata danpropaganda menyesatkan, merupakan pelanggaran terhadap konstitusi yang harus ditindak tegas. Kesadaran masyarakat Papua akan pentingnya perdamaian kini semakin menguat. Kolaborasiantara tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat sipil dalam menjaga ketertiban dan menolakaksi kekerasan menjadi sinyal kuat bahwa Papua ingin maju bersama dalam bingkai NKRI. Kekuatan kolektif masyarakat ini menjadi benteng terdepan dalam menangkal pengaruh burukdari kelompok separatis. Mengecam tindakan keji OPM dan membongkar propaganda mereka bukan semata-matatanggung jawab aparat keamanan. Ini adalah kewajiban moral seluruh rakyat Indonesia dalammenjaga keutuhan bangsa dan memperjuangkan masa depan Papua yang aman dan sejahtera. Sudah terlalu banyak korban yang jatuh akibat disinformasi dan kekerasan yang dibungkusdengan dalih perjuangan. Penegakan hukum, pendekatan informasi yang jernih, serta pembangunan yang inklusif harusterus diperkuat untuk mengikis pengaruh kelompok separatis. Dengan semangat kebersamaandan kehadiran negara yang nyata,...
- Advertisement -

Baca berita yang ini