MATA INDONESIA, JAKARTA – Indonesia berpeluang besar untuk menjadi harga acuan timah dunia karena saat ini tercatat sebagai salah satu eksportir timah terbesar dunia.
Total sumber daya timah Indonesia berdasarkan data Kementrian ESDM dalam bentuk bijih sebesar 3.483.785.508 ton dan logam 1.062.903 ton. Sedangkan cadangan timah Indonesia dalam bentuk bijih sebesar 1.592.208.743 ton dan logam 572.349 ton.
Ini membuat cadangan timah Indonesia menempati urutan kedua terbesar di dunia setelah Cina. Dari sisi demand, Kebutuhan timah dunia berkisar 200.000 ton per tahun. Indonesia berkontribusi sebesar 40 persen atau sekitar 80.000 ton per tahun.
Menurut Peneliti Alpha Research Database Ferdy Hasiman, kondisi ini seharusnya menjadikan Indonesia sebagai benchmark harga timah dunia.
Ia pun menganjurkan agar Presiden Jokowi mencabut lisensi Jakarta Future Exchange (JFX) untuk menjual timah. JFX ini memang sudah lama aktif di bursa, tetapi lisensinya hanya untuk menjual komoditas emas dan kopi.
“Tetapi, mulai tahun 2018, JFX dengan melihat potensi timah, masuk ke pasar timah murni batangan dan merusak harga. Diijinkannya JFX menjual timah dicurigai penuh dengan deal gelap di belakangnya dalam rangka mempengaruhi kebijakan,” ujarnya kepada Mata Indonesia, Jumat 19 Juni 2020.
Ferdy menilai titik lemahnya berada pada Permendag Nomor 53 Tahun 2018 Tentang Ketentuan Ekspor Timah yang diterbitkan pada tanggal 16 April 2018. Kebijakan ini lantas membuka ruang bagi Bappebti untuk melahirkan lebih dari satu bursa timah.
Padahal sebelumnya sudah ada Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia (BKDI) atau ICDX yang menjadi penjual tunggal di pasar timah, sekaligus menjadi penentu harga timah nasional dan acuan harga timah dunia.
“Saya meminta Bappebti sesegera mungkin mencabut lisensi yang diberikan kepada JFX, dan memastikan ICDX menjadi penjual tunggal timah di bursa komoditas. Presiden Jokowi harus turun tangan dan meminta Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, untuk mencabut Permendag ini,” katanya.
Ferdy juga tak menampik bahwa dualisme bursa komoditas timah di Indonesia tidak lepas dari kepentingan politik di Kementerian Perdagangan. Pada jaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dibawah pimpinan Menteri Perdagangan Gita Irawan Wirjawan, diterbitkan PERMENDAG RI Nomor 32/M-DAG/PER/6/2013, tanggal 28 Juni 2013, yang mengatur tata niaga ekspor timah dan mewajibkan timah diperdagangkan di Bursa Timah sebelum diekspor (Pasal 11, ayat 1).
Kebijakan ini telah memberi angin segar bagi timah di tanah air untuk menjadi acuan harga di pasar timah dunia. Selain itu, dengan adanya satu bursa, timah kita menjadi besar dan bisa memberikan kontribusi keuangan yang besar bagi penerimaan negara. Keuntungan lainnya adalah stabilitas harga timah di pasar terjaga.
Selain dapat mengurangi jual-beli lisensi bahkan meminimalisir perdagangan timah illegal, termasuk mewujudkan rencana Presiden Jokowi perihal Pusat Logistik Berikat (PLB). Terbukti Indonesia akhirnya mampu mengendalikan harga timah dunia dan memperluas pasar eskpor timah terbukti harga timah dunia stabil diatas 20.000 dolar AS per Metric Ton dari tahun 2016-2018.
“Dan peran Singapura sebagai secondary market dari semula 90 persen di tahun 2014 turun menjadi 20 persen di tahun 2018. Selain itu penerimaan negara dari Devisa Hasil Eskpor (DHE), Pajak dan Royalti terus meningkat,” ujarnya.
Namun, ambisi besar acuan harga timah dunia dan kedaulatan timah Indonesia mulai tergerus sejak Enggartiasto Lukita menjadi Menteri Perdagangan. Sosok yang berasal dari Partai Nasional Demokrat ini tidak lagi menempatkan BKDI/ICDX sebagai satu-satunya bursa penentu harga timah.
“Ini sebenarnya aturan kontroversi, anomali kebijakan. Kehadiran dua bursa akan merusak (disrupsi) acuan harga dan menyebabkan terpuruknya timah. Selain itu, pembeli akan bingung dalam menggunakan harga acuan hingga lebih memilih transaksi perdagangan timah Indonesia melalui secondary market,” katanya.
Kata Ferdy, problem dualisme bursa Timah Indonesia menyebabkan harga Timah menunjukan tren penurunan sejak 2019. Di tahun 2020, harga timah terus menurun sampai di bawah 15.000 per dolar AS per Metric Ton sehingga berpotensi menyebabkan kehilangan pendapatan devisa sebesar 400 juta dolar AS.
“Selain itu, dualisme bursa akan melemahkan pengawasan terhadap tata niaga perdagangan timah Indonesia yang mengakibatkan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terbarukan ini menjadi kurang maksimal,” ujarnya.
Anomali kebijakan lainnya adalah Pasal 10 PerDirjen No: 05/DAGLU/2/2019 tentang Petunjuk Teknis Verifikasi atas Penelusuran Teknis Ekspor Timah, tanggal 7 Februari 2019.
Dalam regulasi ini, verifikasi atau penelusuran teknis ekspor timah murni batangan, timah solder, dan barang lainnya dari timah dilakukan oleh Surveyor dan tidak mengurangi kewenangann instansi teknis terkait untuk melakukan pemeriksaan terhadap produk-produk ini.
“PerDirjen ini harus dibatalkan karena jelas memunculkan rantai birokrasi yang panjang yang semakin menyulitkan para pelaku pasar timah, bahkan terlihat tidak adanya kepastian hukum,” katanya.
Ferdy pun berharap agar Jokowi harus segera turun tangan mengatasi persoalan ini. Sebab kalau tidak diperhatikan, percuma saja Indonesia menjadi negara produsen timah terbesar kedua di dunia, tetapi tak sanggup menentukan harga di pasar global.
“Padahal, yang namanya barang tambang akan mengalami kelangkaan dan mengalami titik puncak produksi. Cadangan timah kita terus dieksplorasi sampai habis dan tak memberikan andil besar pada penerimaan negara,” ujarnya.