MATA INDONESIA, JAKARTA – Tepat hari ini, Kamis 14 Mei 2020, CEO sekaligus pendiri Facebook Mark Zuckerberk berusia 35 tahun. Zuckerberg lahir tahun 1984 di White Plains, New York dari pasangan Karen, seorang psikiater, dan Edward Zuckerberg, seorang dokter gigi.
Perusahaan yang dirintisnya pada tahun 2004 menjadikannya salah satu orang terkaya di dunia. Perkiraan kekayaan bersih Zuckerberg saat ini mencapai USD 82,6 miliar.
Setelah kuliah, Facebook dimulai dari hanya sebagai “barang Harvard” sampai akhirnya Zuckerberg memutuskan untuk menyebarkan ke sekolah lain, mendaftar dengan bantuan dari teman sekamarnya Dustin Moskovitz.
Mereka pertama kali dimulai dari Stanford, Dartmouth, Columbia, New York University, Cornell, Brown, dan Yale, dan kemudian di sekolah lain yang memiliki kontak sosial dengan Harvard University.
Kini, kekuasaan Zuckerberg sebagai raja media sosial semakin bersar. Apalagi Instagaram dan Whatsapp diakuisisi oleh Facebook. Instagram dan WhatsApp adalah dua layanan populer yang dimiliki oleh Facebook lewat akuisisi, masing-masing pada 2012 dan 2014.
Nah dibalik kesusksesan Facebook, Zuckerberg pernah terlibat skandal besar. Bahkanm seorang senator Amerika Serikat mengatakan Zuckerberg seharusnya dipenjara karena berkali-kali berbohong soal keamanan data pengguna.
BACA JUGA: Pandemi Global Satukan Gerakan Bill Gates dan Mark Zuckerberg
Salah satu skandal terbesar Facebook terbongkar pada 2018 lalu, ketika terungkap bahwa data pribadi puluhan juta pemilik akun Facebook di dunia diambil oleh perusahaan Cambridge Analytica dan dimanfaatkan untuk merancang kampanye politik di sejumlah negara, termasuk di AS saat pemilu 2016.
Karyawan Facebook mendiskusikan Cambridge Analytica dan pihak ketiga lainnya yang telah diperingatkan karena menggunakan data dengan cara yang bisa melanggar kebijakan privasi. Para karyawan Facebook juga telah menghubungi perusahaan yang bersangkutan untuk menyelidiki penggunaan data Facebook.
Rupanya, hal ini sudah disadari sejak September 2015. Dan, pada April 2018, Zuckerberg bersaksi di depan Senat bahwa perusahaan mengetahui potensi masalah ini pada 2015.
“Cambridge Analytica telah membeli data yang dibagikan pengguna dari pengembang aplikasi di Facebook, dan Facebook telah meminta perusahaan itu menghapus dan berhenti menggunakan data dari Facebook.”
Pada bulan Juli 2019, Otoritas Bursa AS (SEC) mengajukan keberatan pada pernyataan Facebook yang dianggap menyesatkan dengan mengklaim bahwa penyalahgunaan data merupakan risiko ketika mereka telah mengetahui adanya penyalahgunaan.
Dalam keberatan tersebut, SEC mengatakan bahwa karyawan dalam grup periklanan politik Facebook ingin menyelidiki potensi pengambilan data oleh Cambridge Analytica pada September 2015, tiga bulan sebelum laporan The Guardian tentang penggunaan data Facebook oleh Cambridge Analytica.
Facebook mengatakan dalam sebuah posting blog pada hari Jumat bahwa dokumen tersebut “memiliki potensi untuk membingungkan dua peristiwa berbeda seputar pengetahuan kita tentang Cambridge Analytica.”
BACA JUGA: Terungkap! Ternyata Ini Aset Termahal Milik Bos Facebook Zuckerberg
Facebook mengatakan dalam posnya bahwa pada saat itu, “seorang karyawan Facebook berbagi desas-desus yang tidak berdasar dari pesaing Cambridge Analytica, yang mengklaim bahwa perusahaan analisis data mengikis data publik.”
Skandal Cambridge Analityca merupakan salah satu kasus penyalahgunaan data terbesar di dunia. Ada 87 juta data pengguna Facebook yang disalahgunakan. Data tersebut untuk kepentingan kampanye pemilu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada tahun 2016.
Di mana, para pengguna yang mengisi data dalam kuis psikologis tersebut langsung diproses oleh Cambridge Analityca. Skandal pencurian dana ini diungkapkan oleh Christopher Wylie.
“Kami menggunakan Facebook untuk mengumpulkan profil jutaan orang. Dan membangun model yang dapat mengeksploitasi apa yang kami ketahui tentang mereka dan menargetkan kebencian dalam hati mereka. Itu adalah dasar dari mengapa perusahaan ini dibangun,” ujarnya kepada Observer.
Cambridge Analytica diketahui dibiayai hingga US$15 juta (Rp 206,3 miliar) oleh miliuner AS Robert Mercer yang juga seorang donor besar untuk Partai Republik, partai penyokong Trump.
Observer melaporkan perusahaan itu dipimpin oleh Steve Bannon, seorang penasihat Trump sebelum dipecat tahun lalu, pada masa kampanye itu.