Raden Saleh, Pelukis Legendaris Indonesia yang Paling Disegani Eropa

Baca Juga

Disegani di Eropa, Raden Saleh Jadi Pelukis Ulung Asal Indonesia

MATA INDONESIA, JAKARTA – Siapa yang tidak kenal dengan pelukis ulung asal Indonesia, Raden Saleh? Putra keturunan Arab dan Jawa ini memiliki nama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman.

Ketika nama Indonesia belum  dilahirkan, Raden Saleh sebagai pelopor atau perintis seni lukis modern Indonesia kurang diketahui. Meski begitu, ia tetap disebut sebagai pelukis pertama Indonesia yang berkarya di kancah Internasional.

Kemampuannya dalam seni lukis dimulai pada tahun 1822, ia didaftarkan belajar di sebuah sekolah bangsawan pribumi. Berkat pergaulan dan kebiasaannya melukis, membuat teman-temannya yakin akan kemampuan yang ia miliki.

Bahkan Raden Saleh muda dilirik pemerintah Hindia-Belanda berkat kemampuannya mengolah pikiran hingga menjadi sebuah karya lukis yang begitu dikagumi. Karenanya, pada tahub 1829, Raden Saleh dikirim oleh pemerintah Hindia Belanda untuk belajar seni lukis di Eropa. dari memperdalam bahasa Belanda hingga belajar teknis melukis di Istana kerajaan Belanda Cornelis Kruesemen.

Perlahan namanya begitu agung di tengah masyarakat Belanda. berkatnya, ia sering diminta melukis potret sejumlah anggota kerajaan dan para pejabat Belanda. Raden juga berkali-kali menggelar pameran di Den Haag.

Pada tahun 1839, pemerintah Belanda langsung mengirim Raden Saleh untuk melakukan ekspedisi artistic ke sejumlah negara lain, di Eropa. Ia memutuskan tinggal beberapa tahu di Dresden salah satu kota di Jerman.

Kebesaran namanya di kalangan Eropa membuat Raden Saleh dijadikan tamu kehormatan kerajaan Belanda. kehadirannya diterima baik di kalangan bangsawan, ia diperlakukan tidak sama seperti kondisi negerinya saat itu, ia diperlakukan layaknya seorang raja.

Karyanya begitu digemari, ia pun leluasa dengan mudah mengekspresikan idenya melalui lembaran media melukisnya. Tak sedikit karyanya dinilai dengan harga yang besar, berbanding terbalik dengan keadaan rakyat di negerinya.

Keagungan yang ia dapatkan di Eropa, tak sedikit pun ia ragu menunjukkan identitasnya sebagai orang Asia, orang Indonesia, dan sebagai seorang Muslim. Bahkan, selama di Dresden, Raden mendapat hadiah dibangunkan mushola di kawasan bukit Muhlbach yang dikhususkan untuk menghormati dirinya.

Karyanya semakin dikenal olah masyarakat dunia, pada tahun 1845 Raden Saleh pergi ke pusat kesenian Eropa, kota Prancis. Wawasannya di sana kian bertambah, ia ikut menjadi saksi revolusi Prancis pada bulan februari 1828 yang membuatnya menghasilkan berbagai karya.

Ia diketahui tiga kali menggelar pameran lukisannya. Karya-karya seninya diterima naik oleh seniman dan kritikus di negara itu. Ia menjadi pribadi baru, ia menjelma sebagai seniman dengan pikiran dan perilaku yang lebih modern.

Pada 1851, ia meninggalkan Eropa untuk kembali ke tanah kelahirannya. Ia memilih tinggal di Batavia, bekerja sebagai pelukis dan konservator pemerintah kolonial Hindia Belanda. seorang yang menyerap pendidikan di Eropa, membuat ia tak seleluasa seperti berada di Eropa.

Raden Saleh terasing di lingkungannya. Pelayanan dan keagungan yang biasa didapat di Eropa, berbanding terbalik saat dirinya di Nusantara. Orang-orang Belanda tetap menganggapnya sebagai pribumi yang tidak sederajat dengan orang Eropa.

Sementara, di kalangan pribumi ia juga sulit menemukan lawan bicara yang bisa mengimbangi tingkat pengetahuan dan pendidikannya. Kondisi ini membuat dirinya sangat kesepian.

Diskriminasi dan kesepian yang ia rasakan mendorongnya menciptakan sejumlah karya tulis yang mengekspresikan kritik atas tindakan kolonialisme di Nusantara. Nuansa kritiknya terlihat jelas dalam berbagai karyanya, misalnya lukisan penangkapan Diponegoro, lukisan banjir di Jawa, hingga lukisan pertarungan antara banteng dan singa.

Lukisan terpentingnya mengenai penangkapan Diponegoro sangat dikenal dan melahirkan banyak tafsir. Mulai tafsir tentang Raden Saleh sebagai pendukung kolonialisme, hingga tafsir yang menyebutkan kritik terhadap tindakan penindasan dari pemerintah Hindia-Belanda.

Ia meninggal dunia pada 23 April 1880 saat ide-ide kebangsaan Indonesia belum dikenal. Kematiannya membuat dua ribu orang ikut mengantarkannya ke tempat peristirahatan terakhir di Kampung Empang, Bogor. (Maropindra Bagas/R)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pamong Kalurahan dan ASN Diduga Dukung Paslon di Pilkada Kulon Progo, Bawaslu Tindaklanjuti

Mata Indonesia, Yogyakarta - Dugaan pelanggaran netralitas dalam Pilkada Kulon Progo tidak hanya melibatkan pamong kalurahan, tetapi juga Aparatur Sipil Negara (ASN).
- Advertisement -

Baca berita yang ini