Oleh: Andika Pratama )*
Dalam menghadapi tantangan besar penyalahgunaan narkoba di Indonesia, pendekatan rehabilitasi muncul sebagai solusi strategis yang mampu memberikan dampak holistik. Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2023,terdapat 3,3 juta penyalahguna narkotika di Indonesia, dengan angka prevalensi sebesar 1,73 persen. Masalah ini tidak hanya membebani sektor hukum dan kesehatan, tetapi juga menciptakan dampak sosial yang luas. Kondisi overkapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas), dengan lebih dari 123.000 penghuni terkait kasus narkotika, menjadi bukti nyata perlunya strategi yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Rehabilitasi bukan sekadar solusi medis, melainkan juga cara untuk mencegah kejahatan berulang dan memutus siklus ketergantungan. Salah satu langkah signifikan adalah evaluasi terhadap Peraturan Bersama Nomor 1 Tahun 2014, yang mengatur penanganan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika melalui lembaga rehabilitasi.
Kepala BNN, Irjen Pol Marthinus Hukom, menekankan pentingnya pendekatan rehabilitasi yang tidak hanya fokus pada pemulihan pengguna, tetapi juga pada penguatan sinergi antar pemangku kepentingan. Asesmen terpadu yang dilakukan terhadap lebih dari 8.000 tersangka narkotika pada Januari hingga Oktober 2024,menunjukkan bahwa lebih dari separuhnya direkomendasikan menjalani rehabilitasi rawat inap maupun rawat jalan. Hal ini menegaskan bahwa pendekatan rehabilitasi lebih efektif dibandingkan penahanan di lapas yang sering kali memunculkan masalah baru, seperti pembelajaran modus kejahatan oleh pengguna. Pendekatan ini tidak hanya terbatas pada pengurangan dampak kesehatan dan hukum, tetapi juga memberikan dimensi pemberdayaan.
Ketua Fraksi Golkar DPRD Kalimantan Utara, Hj. Aluh Berlian, mendorong pendirian fasilitas rehabilitasi yang juga berfungsi sebagai balai pelatihan keterampilan. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa para penyalahguna yang telah direhabilitasi memiliki peluang untuk menjalani kehidupan normal dan produktif. Pelatihan keterampilan selama masa rehabilitasi tidak hanya membantu mereka pulih, tetapi juga memberi harapan baru untuk masa depan. Pendekatan yang menggabungkan pemulihan medis dan pemberdayaan sosial, memberikan efek jangka panjang yang positif bagi masyarakat.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Negeri, Dwi Astuti Beniyati, mengatakan pihaknya melihat pentingnya pendirian pusat rehabilitasi untuk menangani pengguna narkotika secara efektif. Dwi juga menggarisbawahi bahwa mencampur pengguna dan pengedar dalam satu lembaga pemasyarakatan justru kontraproduktif. Pengguna yang seharusnya direhabilitasi malah berisiko belajar teknik kejahatan baru dari para pengedar. Oleh karena itu, pembangunan pusat rehabilitasi di Kabupaten Bekasi menjadi langkah strategis yang tidak hanya membantu memecahkan masalah overkapasitas di lapas, tetapi juga menciptakan pendekatan penanganan yang lebih humanis. Dukungan pemerintah daerah terhadap rencana ini menunjukkan komitmen untuk mengatasi masalah narkoba dari akar permasalahannya.
Namun, tantangan dalam penerapan pendekatan rehabilitasi masih ada, termasuk kurangnya fasilitas yang memadai di berbagai daerah. Dukungan pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci untuk merealisasikan solusi ini. Tidak hanya fasilitas fisik yang perlu ditingkatkan, tetapi juga penyediaan tenaga medis, psikolog, dan konselor yang kompeten. Di sisi lain, masyarakat juga harus dilibatkan dalam proses pemulihan. Stigma terhadap mantan penyalahguna sering kali menjadi hambatan besar dalam reintegrasi sosial mereka. Pendidikan publik dan kampanye yang menekankan pentingnya rehabilitasi sebagai langkah penyelamatan dan bukan hukuman harus terus digalakkan.
Pendekatan rehabilitasi juga terbukti mampu menekan permintaan narkotika di masyarakat. Penurunan permintaan ini akan berdampak langsung pada menurunnya peredaran gelap narkotika. Oleh karena itu, kebijakan rehabilitasi perlu diintegrasikan ke dalam strategi nasional pencegahan narkoba. BNN telah menunjukkan komitmen kuat dalam hal ini melalui diskusi-diskusi strategis dan asesmen terpadu, tetapi langkah ini harus didukung oleh semua pihak, termasuk aparat penegak hukum, lembaga kesehatan, dan masyarakat luas.
Keberhasilan pendekatan rehabilitasi tidak hanya akan mengurangi beban negara, tetapi juga menyelamatkan masa depan generasi muda. Sebagai salah satu kelompok yang paling rentan terhadap penyalahgunaan narkoba, generasi muda harus menjadi fokus utama dalam kampanye rehabilitasi. Melalui pendidikan yang baik, kampanye pencegahan yang efektif, dan fasilitas rehabilitasi yang memadai, penyalahgunaan narkoba dapat ditekan secara signifikan. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat adalah kunci dalam mencapai tujuan ini.
Pemerintah terus mendorong kebijakan yang berbasis pada pendekatan rehabilitasi sebagai solusi efektif. Dalam jangka panjang, rehabilitasi tidak hanya akan mengurangi jumlah pengguna narkoba, tetapi juga menghemat biaya negara dalam penegakan hukum dan pengelolaan lapas. Pendekatan ini memberikan peluang untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat, produktif, dan sejahtera. Ketika pengguna narkoba diberikan kesempatan kedua untuk memulihkan diri, mereka juga diberi peluang untuk berkontribusi kembali pada masyarakat. Dengan mengutamakan rehabilitasi, Indonesia dapat mengambil langkah besar dalam memerangi ancaman narkoba yang terus menghantui bangsa.
Selain itu, upaya rehabilitasi yang diintegrasikan dengan pelatihan keterampilan dan pemberdayaan ekonomi dapat memberikan dampak positif pada masyarakat. Mantan pengguna yang berhasil pulih dan memiliki keterampilan baru dapat menjadi inspirasi bagi orang lain yang sedang berjuang melawan ketergantungan. Lebih jauh lagi, langkah ini juga mendukung target pembangunan berkelanjutan, terutama dalam aspek kesehatan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan. Ketika rehabilitasi dilakukan secara menyeluruh, dampaknya akan dirasakan tidak hanya oleh individu pengguna, tetapi juga oleh keluarga mereka dan masyarakat secara keseluruhan.
)* Penulis adalah kontributor JabarTrigger.com