MATA INDONESIA, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengatur fatwa terkait pernikahan beda agama di Indonesia. Pernyataan ini keluar dari Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin saat mengunjungi kantor MUI Pusat, Selasa 28 Juni 2022.
Fatwa itu, bahkan menurutnya, sudah ada sejak ia masih menjabat di Komisi Fatwa MUI.
Belum lama ini Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memberikan izin nikah beda agama terhadap dua orang mempelai, RA dan EDS, agar akta perkawinannya tercatat di Dukcapil Kota Surabaya.
”Fatwanya sudah ada, waktu saya jadi ketua komisi fatwa, fatwanya sudah ada,” ujar Ma’ruf.
Ia menilai keputusan PN Surabaya untuk memberikan izin nikah kepada dua pasangan itu jelas telah melanggar fatwa MUI. ”Dari segi fatwa MUI tidak sejalan ya,” katanya.
Ma’ruf belum dapat menyampaikan apakah pelanggaran fatwa itu nantinya akan memiliki konsekuensi. Untuk itu, Ma’ruf menyerahkan kemungkinan langkah hukum terkait pelanggaran fatwa itu kepada komisi hukum MUI.
“Komisi hukum ya, akan dibahas di MUI seperti apa di komisi hukum. Karena fatwanya memang tidak boleh, nanti MUI akan buat itulah,” kata Ma’ruf.
Hakim tunggal PN Surabaya Imam Supriyadi mengabulkan permohonan pasangan beda agama yang melakukan perkawinan itu. Dalam putusannya, Hakim Imam mengizinkan dua warga Surabaya berinisial RA dan EDS sebagai pasangan pengantin melangsungkan nikah beda agama di hadapan pejabat Dinas Dukcapil Kota Surabaya. Selain itu Hakim juga memerintahkan Dinas Dukcapil Kota Surabaya mencatat pernikahan kedua mempelai itu.
Sejoli itu sudah menikah secara Islam dan Kristen. Namun kemudian mendapat penolakan saat ada pencatatan akta pernikahannya oleh Dukcapil Surabaya karena menikah beda agama. Hal itu yang kemudian mendasari keduanya mengajukan gugatan ke PN Surabaya.
Wakil Humas PN Surabaya Gede Agung kemudian memberikan alasan pertimbangan hakim Imam tersebut. Salah satunya adalah karena ada kekosongan hukum terkait pernikahan beda agama.
Menurut Agung, dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak diatur soal pernikahan beda agama.
“Dengan pertimbangan bahwasanya adalah Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama. Oleh karena itu ada pertimbangan untuk mengabulkan permohonannya untuk mengisi kekosongan aturan-aturan Undang-Undang Perkawinan,” kata Agung.
Karena adanya kekosongan hukum itu, dan RA dan EDS ingin pernikahan mereka tercatat dalam akta pernikahan di Dukcapil Surabaya. Hakim merujuk sesuai Pasal 35 huruf (a) UU Nomor 23 tahun 2006.