MATA INDONESIA, KUPANG – 25 April 2022 menjadi momen peringatan kematian Poro Duka, seorang petani yang meninggal dalam perjuangan mempertahankan sengketa tanah di pesisir Marosi, Lamboya, Kabupaten Sumba Barat.
Menurut Kepala Divisi Kajian hukum lingkungan WALHI NTT Umbu Tamu Ridi, SH.,MH, silang sengkarut kasus tanah Marosi hingga saat ini belum usai, masyarakat terus melakukan protes, sedangkan pemerintah sibuk membujuk pemilik tanah untuk memilih legowo.
“Pada posisi ini, pemerintah daerah Sumba Barat menjadi semakin tidak berkomitmen untuk mengawal persoalan yang merugikan rakyat Marosi secara ekonomi, dan bahkan nyawa. Salah satu point tidak komitmennya pemerintah daerah adalah tidak menyelesaikan kasus penerbitan sertifikat yang diakui timpang di Marosi, yang mana lewat pengakuan kepala Badan Pertanahan Nasioanal (BPN) Sumba Barat, Edward Simatupang pada tanggal 18 Mei 2018, yang mengaku bahwa terdapat sebuah sertifikat ganda di Marosi yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumba Barat,” ujarnya dalam rilis yang diterima.
Umbu menambahkan bahwa peristiwa itu bermula dari sebuah kegiatan pengukuran tanah oleh PT. Sutera Marosi Kharisma (SMK) bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumba Barat yang diklaim sebagai tanah terindikasi terlantar. Pengukuran tersebut tidak berdasarkan alat bukti yang sah, dan bagi masyarakat BPN dan perusahan telah mencaplok tanah hak milik dan tanah-tanah ulayat serta tempat ritual kepercayaan Marapu.
Bahwa diduga kuat yang melakukan penembakan adalah “oknum” kepolisian yang mengamankan kegiatan pengukuran lahan perusahan untuk membangun hotel bintang lima yang dikerjakan oleh PT.Sutera Marosi Kharisma di atas tanah suku orang Patiala bawa, Lamboya. Sesaat setelah kejadian, kepolisian menyatakan, tidak ada penembakan, dan pengamanan yang dilakukan oleh kepolisian sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku.
“Sedangkan hasil otopsi jenasah yang dilakukan di RSUD Waikabubak yang disaksikan keluarga, terbukti ada peluru dalam tubuh almarhum, oleh dokter forensik Bidokkes Polda NTT Kompol dr.Ni Luh Putu Eni Astuti saat gelar perkara di Mapolda NTT 15 Mei 2018. Ada luka berbentuk bulat dengan diameter 0,5 cm, dengan klem lecet di sisi kanan ukuran 2,4 cm, dan kiri bawah dan atas 0,2 cm yang menembus jantung hingga bilik kanan jantung almarhum,” katanya.
Harapan keluarga dan publik meminta tanggung jawab Polri sejak dulu, hanya berujung dimutasinya Kapolres Sumba Barat, AKBP Gusty Maychandra Lesmana, S.ik, MH, yang diputus bersalah dalam sidang etik yang dipimpin Divisi Propam Polda NTT pada tanggal 24 Mei 2018 di Mapolda NTT, Ia dianggap melanggar disiplin karena tidak mampu mengontrol bawahannya. Propam Polda NTT sebagai pemimpin sidang etik menegaskan bahwa pengamanan kegiatan pengukuran lahan pada tanggal 25 April 2018 di pesisir Marosi dianggap tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) pengamanan yang berlaku, lebih lengkap.
Jika serius mengkaji peristiwa berdarah itu secara hukum, Pengamanan massa yang mengakibatkan Poro Duka meninggal dunia, sangat jelas menyalahi hukum yang berlaku, secara khusus dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa, Pasal 21 Ayat (1) huruf b dan h penegasan mengenai tidak boleh melakukan kekerasan yang tidak sesuai SOP, dan larangan tidak boleh melakukan perbuatan yang melanggar Undang-undang, dan ayat (2) huruf f mengenai kepatuhan dan ketaatan Polisi terhadap kesatuan lapangan yang bertanggung jawab.
Sedangkan apa bila aktivitas perlawanan massa saat itu dianggap bagian dari tindakan huru-hara maka rujukannya harus Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2010 tentang Tata cara lintas ganti dan cara bertindak dalam penanggulangan huru-hara, terhadap tindakan massa yang dapat menimbulkan kerugian jiwa dan harta benda serta menimbulkan keresahan masyarakat, penegasan lain bahwa bagaimanapun tindakan tersebut harus menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) dari setiap orang yang melakukan tindakan huru-hara.
“Lebih jelas, jika secara khusus dilihat dalam Pasal 14 soal persiapan untuk penanggulangan huru-hara dalam jumlah besar harus atas perintah Kapolda, itu untuk massa yang berjumlah besar dan mengakibatkan ancaman korban jiwa dan harta benda. Warga yang melakukan protes pengukuran lahan di Marosi tidak dalam jumlah yang besar, mereka bertindak seadanya untuk mempertahankan hak milik dan ulayat mereka,” ujarnya.
PT.Sutera Marosi Kharisma merasa memiliki tanah dengan rujukan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), sedangkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak mampu menunjukan mana tanah terindikasi terlantar dan mana tanah yang bagi PT.Sutera Marosi Kharisma yang masuk dalam peta sertifikat Hak Guna Bagunan (HGB) tersebut, misalkan mengenai batas-batas dan keabsahan jual beli.
“Penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) PT.Sutera Marosi Kharisma sangat tidak berdasar hukum, perusahan berdalih telah membeli dari pemilik tanah pada tahun 1994-1995 namun tidak menunjukan bukti keabsahan jual beli dan bidang-bidang mana yang telah diperjualbelikan,” katanya.
Perihal transaksi jual beli tanah yang dilakukan oleh Alm.Umbu Samapati (Umbu Kupang) bersama beberapa pemilik tanah di Desa Patiala Bawa diakui warga setempat, namun saat itu tidak pernah dilakukan peninjauan tanah-tanah yang akan diperjualbelikan beserta ukuran dan batas-batasnya, mereka menjual tanah-tanah yang bagi mereka tidak dapat dimanfaatkan menjadi sawah/kebun, bukan seluruh 7 (Tujuh) bidang yang luasnya lebih dari 200 Ha tersebut dijual, termasuk tempat-tempat ritual kepercayaan Marapu.
Good Job