Mualaf, Legenda Belanda Clarence Seedorf Antusias Sambut Ramadan dan Berpuasa

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Legenda Belanda, Clarence Seedorf memutuskan menjadi mualaf. Bulan Ramadan tahun ini menjadi pengalaman pertama baginya menjalani ibadah puasa.

Seedorf sangat antusias menyambut bulan Ramadan dan berpuasa untuk pertama kalinya sejak memutuskan memeluk agama Islam. Pria yang tiga kali menjuarai Liga Champions dengan tiga klub berbeda merasa diberkati apalagi Ramadan kali ini berdekatan dengan ulang tahunnya pada 1 April.

“Saya merasa diberkati bahwa Ramadan resmi pertama saya dimulai beberapa jam setelah ulang tahun saya,” tulis Seedorf, di Instagram.

“Kami mendoakan semua saudara dan saudari Muslim di seluruh dunia Ramadan Kareem. Selalu damai dan memberikan kedamaian kepada orang lain.”

Seedorf memposting foto berdua dengan istrinya, Sophia Makramati, wanita asal Kanada berdarah Iran. Menikahi Sophia menjadi salah satu alasan Seedorf memutuskan menjadi Mualaf.

Selama kariernya, Seedorf banyak memperkuat klub-klub besar Eropa, seperti Ajax Amsterdam, Real Madrid, Inter Milan, dan AC Milan. Dia satu-satunya pemain yang memenangkan tiga trofi Liga Champions dengan tiga klub berbeda, yakni bersama Ajax, Madrid, dan AC Milan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini