Han So Hee Akui Harus Bekerja 12 Jam dalam 6 Hari Seminggu Demi Bisa Lunasi Utang-utang Sang Ibu

Baca Juga

MATA INDONESIA, SEOUL – Kabarnya ibunda Han So Hee sudah sering berhutang sejak sebelum Han So Hee debut sebagai aktris. Sampai-sampai Han So Hee harus bekerja selama 12 jam dalam enam hari seminggu.

Hal ini baru terungkap dari video baru mantan reporter, Lee Jinho. Video tersebut berjudulkan ‘Han Sohee melunasi utang ibunya sebesar 20 juta won saat dia belum terkenal’.

Seorang sumber telah berbicara langsung pada Lee Jinho bahwa orang tua Han So Hee bercerai ketika ia berusia sekitar lima tahun. Han So Hee dibesarkan oleh neneknya.

Melansir dari Star News, So Hee pindah ke Seoul setelah menjadi dewasa. Sumber tersebut mengatakan bahwa Han So Hee membantu sang ibu untuk membayar utang ibunya hingga mencapai 20 juta won. Itu karena ia dihubungi oleh sang ibu dan berkata bahwa ia tengah kesulitan ekonomi.

Han So Hee sampai harus bekerja dari pukul 6.00 sore sampai 6.00 pagi selama enam hari seminggu di sebuah pub. Ia menggunakan uang penghasilannya itu untuk melunasi utang ibunya.

Namun ternyata, utang tersebut malah membengkak di luar kendali sang aktris. Terutama saat setelah ia mulai debut di industri hiburan.

Akhirnya, Han So Hee membuat batasan bahwa dirinya sudah tak sanggup lagi untuk membantu menyelesaikan masalah ibunya. Ia mengaku sudah tak punya tanggung jawab lagi untuk membayar semua utang-utang ibunya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini