MATA INDONESIA, JAKARTA – Sambil memandang Istana Al-Hambra dari atas bukit, Abu Abdillah bin Muhammad sang penguasa Granada, berlinang air mata. Seperti anak kecil, sultan ini menangis sesugukan.
Ibunya, Aisyah Al-Hurrah, yang berdiri di sampingnya, dengan muka masam hanya mengatakan, “Kini kau menangis seperti seorang perempuan, padahal kau tak pernah melakukan perlawanan sebagaimana seorang lelaki sejati….”
Dataran tinggi berbatu tempat Abu Abdillah bin Muhammad melayangkan pandangan perpisahan sambil menangis itu sekarang masih dikenal dengan nama El Ultimo Suspiro del Moro (desahan terakhir sang Moor).
Cerita tangisan Sultan Granada ini tercatat dalam sejarah. Abu Abdillah adalah penguasa konyol dan tamak. Padahal, kerajaannya mewakili kelompok Muslim yang sudah ratusan tahun berada di Spanyol.
Andalusia pernah mereguk masa emasnya. Hampir 8 abad lamanya membawa Islam pada kemajuan di berbagai lini kehidupan. Menjadi sentral budaya, ilmu pengetahuan, dan ekonomi global. Kekhilafahan Islam saat itu sanggup mengubah wilayah di daratan Eropa tersebut menjadi simbol kegemilangan peradaban dan kekuatan kaum muslimin.
Namun semua berakhir karena para pemimpin muslim pada masa itu tenggelam akan kehidupan mewah dan glamour. Mereka sibuk dengan urusan dunia dan meninggalkan semangat keislaman. Rakus, berfoya-foya dan tak mau memikirkan rakyatnya.
Para anak sultan bahkan saling membunuh untuk mendapatkan kekuasaan. Kemaksiatan dan kemungkaran dibiarkan. Kejahatan merajalela, hingga sektor ekonomi lambat laun menjadi hancur.
Rusaknya moral umat muslim saat itu terbaca oleh para pemimpin Kristen yang gencar berambisi memperluas kekuasaannya. Takdir akan runtuhnya Granada pun dimulai, ketika Raja Ferdinand dari Aragon menikah dengan Putri Isabella dari Castile. Pernikahan ini menyatukan dua kerajaan terkuat di semenanjung Iberia. Mereka punya cita-cita yang sama, menaklukkan Granada dan menghapus jejak-jejak Islam di Spanyol.
Saat orang-orang Islam sibuk dengan urusan mereka sendiri, orang-orang Kristen bersatu padu. Tidak lagi terpecah belah sebagaimana keadaan mereka di masa lalu. Sebaliknya Granada menghadapi pergolakan politik. Para pemimpin muslim dan para gubernur cenderung saling sikut, memiliki ambisi yang berbeda-beda. Berusaha melengserkan satu sama lain. Bahkan mereka ada yang berperan sebagai mata-mata Kristen dengan iming-iming imbalan kekayaan, tanah, dan kekuasaan.
Demikian halnya dengan Abu Abdillah bin Muhammad. Ia memberontak kepada ayahnya sendiri. Imbalannya pun tidak main-main. Aset-aset kerajaan ia jual kepada Raja Ferdinand untuk mendapatkan kemenangan. Akhirnya kemenangan memang didapatkannya. Namun apa yang terjadi setelah itu?
Tidak lama setelah menguasai Granada, Sultan Abdillah bin Muhammad mendapat surat dari Raja Ferdinand untuk menyerahkan seluruh Granada ke wilayah kekuasaannya. Sang Sultan terkejut. Ia menyangka Raja Ferdinand akan memberikan wilayah Granada dan membiarkannya menjadi raja di wilayah tersebut.
Nopember 1491, peristiwa kelam terjadi. Granada dikepung oleh pasukan-pasukan Raja Ferdinand. Pasukan Kristen dalam jumlah yang besar mengepung dan bersiap menyerang Granada. Abu Abdullah bin Muhammad pun terpaksa menandatangani surat penyerahan Granada kepada pasukan Kristen.
2 Januari 1492, inilah hari yang paling memilukan bagi kaum muslimin Andalusia kala itu. Pasukan Kristen tiba di Kota Granada. Mereka memasuki istana Al-Hambra, memasang bendera dan berbagai simbol kerajaan Kristen di dinding-dinding istana. Di menara tertinggi Al-Hambra terpancang bendera salib agar rakyat Granada mengetahui penguasa negerinya sekarang.
Keadaan saat itu benar-benar mencekam. Rakyat muslim Granada tidak berani keluar dari rumah-rumah mereka. Jalanan pun lengang dari hiruk pikuk manusia. Sultan Abu Abdullah bin Muhammad pun terusir dari istananya.
Orang-orang Kristen menjanjikan toleransi dan kedamaian terhadap masyarakat Islam Granada. Namun perjanjian itu mereka batalkan sendiri. Ribuan umat Islam terbunuh dan yang lainnya mengungsi menyeberang lautan menuju wilayah Afrika Utara.
Kekuasaan Islam di Andalusia meninggalkan berbagai kebudayaan Islam yang melekat sampai sekarang. Kekhilafahan Islam saat itu sanggup mengubah wilayah di daratan Eropa tersebut menjadi simbol kegemilangan peradaban dan kekuatan kaum muslimin. Namun akhirnya kegemilangan tersebut pun dapat hancur.
Semua berakhir karena para pemimpin muslim pada masa itu mereka sibuk dengan urusan dunia dan meninggalkan semangat jihad. Bahkan saling membunuh untuk mendapatkan kekuasaan. Kemaksiatan dan kemungkaran dibiarkan. Kejahatan merajalela, hingga sektor ekonomi lambat laun menjadi hancur.
Selama terjadinya reconquista, kerajaan Islam satu per satu jatuh ke wilayah kekuasaan kerajaan Kristen yang melakukan penyerangan dari Utara. Pusat kesultanan Islam di Toledo, Valencia, Merida, Cordoba, Sevillah, perlahan mulai runtuh. Hanya tersisa kesultanan di Granada saja pada saat itu. Akan tetapi, Kesultanan Granada pun sedang berada di ujung tanduk karena memiliki konflik internal. Akhirnya, Granada pun harus runtuh di tangan kaum Kristen yang merebut tempatnya.
Reporter: Dinda Nurshinta