Shin Tae-yong Bongkar Kebiasaan Buruk Pemain Indonesia

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Shin Tae-yong buka-bukaan soal kebiasaan buruk pemain sepak bola Indonesia. Yang paling menonjol adalah, lemah dalam hal disiplin.

Sudah dua tahun Shin Tae-yong melatih timnas Indonesia. Dalam waktu sangat singkat termasuk terhentinya kompetisi sepak bola karena pandemi Covid-19, pelatih asal Korea Selatan itu mampu mengubah wajah skuat Garuda.

Bukan hanya dari segi permainan, Shin mengubah kebiasaan buruk para pemain terutama dalam hal disiplin. Hal-hal buruk tersebut berhasil diubah dan kini para pemain lebih disiplin.

“Saat masuk ke stadion, mereka tidak langsung cepat-cepat. Kalau kita pasti disuruh cepat-cepat. Kalau mereka, keluar dari stadion ke lapangan, terus kembali lagi memakan waktu 10 menit,” kata Shin Tae-yong di channel YouTube Masters, yang ditejermahkan channel BAL.

“Pelatih dan staf turun dari bus dan masuk ke lapangan dalam waktu 1-2 menit dan berdiri menuggu pemain datang, tapi mereka masih duduk, ngobrol, seperti tidak niat ke lapangan. Mereka terus saja mengobrol sambil mengikati tali sepatu,” ujarnya.

Shin Tae-yong merasa bangga dan senang bisa mengubah kebiasaan buruk para pemain. Dengan disiplin dan kerja keras, dia mampu membawa Indonesia menjadi runner-up Piala AFF 2020 dengan tim bermaterikan mayoritas pemain muda.

“Menurut saya tidak bisa terus seperti itu, jadi saya pikir harus merubah kebiasaan tersebut. Mengubah itu menjadi hal yang membekas bagi saya,” ungkapnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini