MATA INDONESIA, JAKARTA – Tak ada takbir maupun ucapan apapun menyeru kebesaran Tuhan. Hanya satu kata sebelum tubuhnya terkena berondongan peluru, ”Hidup PKI.” Kata itu yang keluar dari mulut Dipa Nusantara Aidit pada 22 November 1965.
Ketua Umum PKI ini sebenarnya lahir dari keluarga muslim yang taat. Aidit yang nama awalnya adalah Achmad Aidit merupakan anak pertama dari pasangan Abdullah bin Ismail dan Ayu Mailan.
Pria yang lahir pada 30 Juli 1923 di Tanjung Pandan, Belitung ini berasal dari keluarga yang terpandang dan memiliki latar belakang Islam yang kuat. Ayahnya, Abdullah adalah seorang Mantri Kehutanan dan juga pendiri perkumpulan keagamaan Nurul Islam. Ibunya adalah seorang keturunan Ningrat. Kakek dari ayahnya, Haji Ismail adalah seorang pengusaha ikan yang sukses. Sedangkan Kakek dari ibunya Haji Abdul merupakan seorang tuan tanah.
Semasa mudanya Aidit merupakan penganut Islam yang taat. Bahkan sedari kecil ia sudah khatam Al Quran dan sering sekali menjadi Muadzin. Ilham Aidit, salah seorang putra dari Aidit, mengatakan bahwa ayahnya adalah seseorang yang sangat peduli dengan Masjid. Ayahnya selalu perhatian jika ada genteng Masjid yang rusak atau pecah dan itu sangat dikenang oleh masyarakat disana.
Pada tahun 1940, Aidit memutuskan untuk pergi merantau ke Jakarta. Ia yang tadinya ingin melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) namun gagal, menyiasati dengan sekolah di Sekolah Dagang, Middestand Handel School (MHS). Di masa sekolah, Aidit dikenal sebagai kutu buku. Kesukaannya dalam membaca semakin menjadi saat ia bekerja di sebuah perpustakaan milik orang Belanda. Dari pekerjaannya inilah ia mulai berkenalan dengan buku-buku beraliran “Kiri”.
Selain itu Aidit juga tergabung dalam Perhimpunan Demokratik Sosial Hinda Belanda (yang nanti berubah menjadi PKI) semakin mendalami ilmu politik Marxis.
Sebelum bergabung dengan Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda, Aidit pernah bergabung dengan Persatuan Timur Muda (Pertimu). Saat itu ia berhasil menjadi Ketua Umum Pertimu, bahkan menjadi sekretaris pribadi Bung Hatta. Saat itulah, ia mengubah namanya dari Achmad Aidit menjadi Dipa Nusantara Aidit.
Kebiasaan membacanya memberikan wawasan sehingga membuatnya mudah bergaul dengan siapa saja, mulai dari kelas buruh hingga tokoh-tokoh dalam pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Aidit bisa akrab dengan Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mohammad Yamin.
Pada tahun 1948, pria yang terkenal parlente dalam berpakaian ini masuk dalam Komisi Penterjemah PKI. Tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels. 6 tahun berikutnya terpilih menjadi anggota Central Comitee PKI sekaligus Sekjen PKI. Kekagumannya kepada Marx dan Engles inilah yang melatarbelakangi sikap kepercayaanya kepada Tuhan dan keyakinannya kepada agama. Ia pun akhirnya menjadi ateis.
Hal ini tergambar dalam buku “Semangat Merdeka”. Penulisnya A Hasjmy menceritakan pengalamannya bercengkrama dengan Aidit saat lawatannya ke Ambon bersama dengan Soekarno, presiden RI.
Setelah Hasjmy Shalat Maghrib dan Isya mereka berdua mengobrol. Saat itu Aidit menjelaskan kepada Hasjmy bahwa ia sudah tidak percaya lagi adanya Tuhan.
Ia juga mempertanyakan tentang siapa yang disembah oleh Hasjmy tadi. Hasjmy dengan jelas menjawab “Allah, Tuhan Saya dan Tuhan Bung Aidit”. Dengan enteng Aidit menjawab “Saya tidak merasa adanya Tuhan”.
Mendengar hal itu Hasjmy langsung menanyakan “Siapakah Allah yang Bung sebut saat tersandung tadi di Lapangan Terbang?”. Ia hanya menjawab “Itu Karena Kebiasaan Waktu saya masih kecil, tinggal bersama ayah dan ibu yang taat beragama Islam di Bangka”.
Ketidakpercayaan Aidit kepada Tuhan juga tergambar saat ia ditembak mati oleh Pasukan TNI AD. Yasir Hadibroto dalam buku Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia karya Abdul Gafur menceritakan saat-saat terakhir Aidit.
Saat pasukan Yasir Hadibroto membawanya ke sumur tua, Aidit sadar bahwa ia akan mati. Ia hanya meminta waktu untuk berpidato. “Jangan tergesa-gesa, saya mau pidato dulu,” katanya.
Tak ada kalimat meminta pengampunan kepada Allah seperti lazimnya umat muslim. Tak ada lafadz-lafadz seruan kepada Allah. Aidit hanya berpidato soal kebesaran PKI. Sesaat setelah ia menyelesaikan pidatonya, ia berteriak dengan keras..Hidup PKI!” Seruan itu menjadi seruannya yang terakhir. Sebab sejurus kemudian, peluru langsung menyusup ke balik daging-dagingnya.
Reporter: Desmonth Redemptus Flores So