MATA INDONESIA, JAKARTA-Penerapan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) secara keseluruhan berpotensi menambah penerimaan pajak antara Rp70-90 triliun atau sekitar 0,4-05 persen terhadap produk domestik bruto.
Kepala Ekonomi Bank Permata Josua Pardede mengatakan peningkatan penerimaan pajak mendukung pelebaran ruang fiskal itu, diharapkan bisa dioptimalkan pemerintah untuk belanja produktif dan strategis yang memiliki efek berganda terhadap perekonomian.
“Peningkatan produktivitas belanja serta implementasi reformasi administrasi perpajakan diharapkan mendorong kepatuhan wajib pajak yang ke depannya akan mampu mendorong peningkatan tax ratio yang lebih berkelanjutan,” ujarnya.
Ia mengatakan ruang fiskal mempengaruhi kesinambungan fiskal di masa-masa mendatang. Hal ini terjadi karena kesinambungan fiskal bergantung pada kemampuan pemerintah untuk memobilisasi penerimaan, pembiayaan defisit maupun penajaman dan efisiensi belanja, yang berarti upaya memperlebar ruang fiskal.
Dengan mendorong pemulihan ekonomi, kata Josua, di saat bersamaan akan mendukung optimalisasi penerimaan pajak.
Sementara, dari sisi belanja yang mendorong strategi spending better (redesain sistem penganggaran dengan menggunakan pendekatan belanja yang lebih baik), maka akan mendukung pelebaran ruang fiskal yang artinya mendorong daya tahan APBN.
UU HPP kata dia merupakan upaya pemerintah mendorong reformasi fiskal dan reformasi struktural dalam rangka meningkatkan produktivitas perekonomian serta menjaga keberlanjutan fiskal jangka panjang.
Secara umum ada beberapa perubahan ketentuan pajak dalam UU tersebut, salah satunya terkait kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN).
Pemerintah disebut mempertimbangkan beberapa hal untuk menaikkan tarif PPN, seperti kinerja PPN pada 2018 tercatat hanya 63,58 persen yang berarti Indonesia hanya bisa mengumpulkan sebesar persentase itu dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.
Kinerja PPN Indonesia itu lebih rendah dibandingkan beberapa negara lain, seperti Singapura 92,69 persen, Thailand 113,83 persen, Afrika Selatan 70,24 persen, dan Argentina 83,71 persen.
Selain itu Josua menambahkan terlalu banyak pengecualian atas barang dan jasa, yaitu empat kelompok barang dan 17 kelompok jasa. Juga terlalu banyak fasilitas, yakni PPN dibebaskan atau tidak dipungut, sehingga menyebabkan distorsi dan terjadi ketimpangan kontribusi sektor usaha pada PDB maupun PPN dalam negeri.
“Oleh sebab itu, PPN dinaikkan menjadi 11 persen tahun 2022 dari tarif PPN saat ini yakni 10 persen adalah ditujukan mendorong reformasi penerimaan perpajakan PPN,” kata dia.