MATA INDONESIA, BAKU – Perang di kawasan bekas pecahan Uni Sovyet sepertinya tak pernah berakhir. Meski pandemi Covid-19 melanda Azerbaijan dan Armenia, keduanya masih saja berseteru perebutan wilayah. Kawasan yang diperebutkan adalah Nagorno-Karabakh, yang diklaim Azerbaijan sebagai wilayah kedaulatan mereka, tapi selama ini dikuasai etnis Armenia.
Dua negara itu pernah terlibat perang berdarah pada akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an. Perang itu hingga saat ini masih terus memicu konflik bersenjata yang berkelanjutan.
Nagorno-Karabakh adalah bagian dari Azerbaijan, tapi mayoritas penduduk wilayah itu berlatar belakang etnis Armenia.
Namun saat sejumlah anggota Uni Soviet menggugat kemerdekaan mereka tahun 1980-an, warga Nagorno-Karabakh memilih bergabung ke Armenia.
Keputusan itu lalu memicu konflik yang baru diakhiri dengan gencatan senjata tahun 1994. Di akhir konflik, Nagorno-Karabakh tetap menjadi bagian Azerbaijan tetapi dikendalikan oleh etnis separatis Armenia yang didukung oleh pemerintah Armenia.
Sampai beberapa waktu lalu, negosiasi damai yang dimediasi negara-negara berpengaruh di dunia gagal disepakati.
Armenia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Sementara itu, agama terbesar di Azerbaijan adalah Islam. Turki memiliki hubungan dekat dengan Azerbaijan, sedangkan Rusia bersekutu dengan Armenia, walau Rusia sebenarnya juga berhubungan baik dengan Azerbaijan.
Islam dan Kristen
Kaukasus merupakan wilayah pegunungan yang penting secara strategis di Eropa Tenggara. Selama berabad-abad berbagai kekuatan di wilayah ini, baik penganut Kristen maupun Muslim, bersaing memegang kendali di sana.
Armenia dan Azerbaijan modern menjadi bagian dari Uni Soviet ketika dibentuk pada 1920-an. Nagorno-Karabakh adalah wilayah mayoritas etnis Armenia, tetapi Soviet memberikan kendali atas wilayah tersebut kepada otoritas Azerbaijan.
Baru setelah Uni Soviet runtuh di akhir tahun 1980-an, parlemen regional di Nagorno-Karabakh secara resmi memilih bergabung ke Armenia.
Azerbaijan kala itu berupaya menekan gerakan yang menghendaki Nagorno-Karabakh menjadi bagian Armenia. Di sisi lain, Armenia mendukung kelompok itu.
Situasi ini menyebabkan bentrokan etnis. Setelah Armenia dan Azerbaijan mendeklarasikan kemerdekaan dari Uni Soviet, perang pun pecah di antara dua negara tersebut.
Puluhan ribu orang tewas dalam perang itu. Sekitar satu juta orang pun mengungsi. Dua belah pihak diduga melakukan genosida dan pembersihan etnis. Kebanyakan pengungsi dalam perang itu merupakan warga Azerbaijan.
Tentara Armenia menguasai Nagorno-Karabakh sebelum gencatan senjata yang dimediasi Rusia disepakati tahun 1994.
Setelah kesepakatan itu, Nagorno-Karabakh tetap menjadi bagian dari Azerbaijan. Akan tetapi wilayah itu dikendalikan separatis beretnis Armenia yang mendeklarasikan republik tersendiri. Pemerintah Armenia terang-terangan mendukung mereka.
Kesepakatan gencatan senjata itu juga memuat Garis Kontak Nagorno-Karabakh. Tujuannya adalah memisahkan pasukan Armenia dan Azerbaijan.
Sejak gencatan senjata itu, munculah usulan perundingan damai. Pengagasnya Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) Minsk Group. Ini adalah badan yang dibentuk tahun 1992, diketuai Prancis, Rusia dan Amerika Serikat.
Namun bentrokan terus berlanjut. Gejolak serius tahun 2016 menewaskan puluhan tentara, baik di pihak Armenia maupun Azerbaijan.
Konflik itu semakin rumit karena situasi geopolitik. Negara anggota NATO, Turki, adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Azerbaijan pada tahun 1991.
Satu Bangsa Dua Negara
Mantan Presiden Turki, Azeri Heydar Aliyev, pernah menyebut negaranya dan Azerbaijan sebagai “satu bangsa-dua negara”. Keduanya, menurut dia, memiliki budaya dan dan warga berbangsa Turki.
Turki tidak memiliki hubungan resmi dengan Armenia. Pada tahun 1993, Turki menutup perbatasan mereka dengan Armenia. Kebijakan itu untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap Azerbaijan selama perang di Nagorno-Karabakh.
Sementara itu, Armenia berhubungan baik dengan Rusia. Rusia memiliki pangkalan militer di Armenia. Dua negara itu adalah anggota aliansi militer Organisasi Perjanjian Keamanan Kolektif (CSTO
Namun Presiden Rusia, Vladimir Putin, juga memiliki hubungan erat dengan Azerbaijan.
Pada 2018, terjadi revolusi damai di Armenia saat rezim Serzh Sargysan tumbang. Pemimpin kelompok pro-revolusi, Nikol Pashinyan, terpilih menjadi Perdana Menteri Armenia usai pemilu tahun itu.
Pashinyan lalu bersepakat dengan Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, untuk mengurangi ketegangan. Mereka membuat pusat kontak militer pertama yang akan menjembatani kedua negara.
Pada 2019, Armenia dan Azerbaijan bersama-sama menyatakan perlunya “mengambil langkah konkret untuk mempersiapkan penduduk menyambut perdamaian”.
Namun tahun ini, selama beberapa bulan ketegangan antara dua negara meningkat. Pertempuran bersenjata yang sengit di Nagorno-Karabakh juga terjadi.
Tidak jelas siapa yang pertama kali memercikkan konflik. Pertempuran Armenia dan Azerbaijan berakhir November ini ketika mereka setuju meneken kesepakatan perdamaian yang dimediasi Rusia.
Berdasarkan dokumen itu, Azerbaijan akan mempertahankan beberapa daerah yang mereka kuasai selama konflik. Adapun Armenia akan menarik pasukan dari beberapa daerah yang berdekatan dengan wilayah tersebut.
Reporter: Firda Padila