MATA INDONESIA, KABUL – Kepergian pasukan militer Amerika Serikat (AS) dari tanah Afghanistan membuat perempuan di sana khawatir. Sebab dengan begitu, kelompok Taliban akan kembali menguasai Afghanistan dengan cepat.
Sebuah pertanyaan kritis menggantung atas nasib perempuan Afghanistan, akan kebebasan dan hak yang diperoleh dengan susah payah. Setelah bertahun-tahun disubordinasi, perempuan Afghanistan datang untuk menikmati kebebasan yang belum pernah pernah mereka rasakan.
Tahun 2001, di mana pasukan AS menggulingkan rezim Taliban –yang telah memberlakukan pembatasan keras terhadap kebebasan sipil, termasuk melarang para perempuan mengenyam pendidikan dan bekerja di luar rumah.
Tanpa adanya Taliban, kaum perempuan di Afghanistan menduduki posisi kunci di berbagai lembaga negara, menjabat sebagai anggota parlemen, menteri, duta besar, bahkan mencalonkan diri sebagai presiden. Partai-partai yang memerintah juga tidak menentang prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti kesetaraan gender dan kebebasan berekspresi.
Untuk itu, kepergian pasukan asing menjadi sumber kecemasan dan ketegangan yang cukup besar bagi kelas menengah dan perempuan berpendidikan di daerah perkotaan Afghanistan – yang takut bahwa kembalinya kekuasaan oleh Taliban akan merampas kebebasan yang saat ini mereka nikmati.
“Semua orang sekarang takut. Kami semua khawatir tentang apa yang akan terjadi,” kata Nargis, manajer toko pakaian Aryana yang baru dibuka di Kabul, mengatakan kepada Arab News, Senin, 2 Agustus 2021.
“Orang-orang telah menyaksikan satu era gelap Taliban. Jika mereka datang lagi, tentu mereka tidak akan mengizinkan perempuan bekerja, dan saya tidak akan berada di tempat saya hari ini,” sambungnya.
Nargis memiliki gelar dalam jurnalisme, tetapi karena lonjakan serangan yang ditargetkan pada pekerja media dalam beberapa tahun terakhir, dia memutuskan untuk tidak mengambil risiko.
Seperti dalam masyarakat yang dilanda perang, perempuan menderita secara tidak proporsional di Afghanistan. Beberapa jurnalis perempuan, aktivis hak-hak perempuan, dan perempuan yang bertugas di pasukan keamanan Afghanistan telah dibunuh, baik oleh tersangka militan atau oleh kerabat dalam apa yang disebut pembunuhan demi kehormatan.
Taliban telah memerintahkan perempuan untuk tidak keluar rumah tanpa anggota keluarga laki-laki, mengenakan burqa, dan melarang laki-laki mencukur janggut mereka – mengingatkan pada kebijakan kelompok itu ketika memerintah Afghanistan sejak 1996 hingga 2001.
“Anda lihat di daerah-daerah yang dikendalikan Taliban, mereka memberlakukan pernikahan paksa, perbudakan seksual, dan pernikahan anak meningkat,” Shukria Barakzai, seorang aktivis hak-hak perempuan terkemuka yang menjabat sebagai duta besar Afghanistan untuk Norwegia.
“Mereka menyandera janda-janda muda dan gadis-gadis muda. Ini bertentangan dengan budaya Afghanistan, agama, dan semua aturan perang. Kejahatan perang sedang terjadi sekarang terhadap orang-orang Afghanistan dan terutama terhadap perempuan dari masyarakat ini,” tuturnya.