MATA INDONESIA, JAKARTA-Penyediaan hunian bagi masyarakat khususnya masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) memerlukan inovasi agar kebutuhan rumah dapat terpenuhi. Hal itu diungkapkan oleh Guru besar Perencanaan dan Perancangan Kota Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Ir Haryo Winarso.
Haryo dalam diskusi daring tentang Peluang Pengembangan Kebijakan Penyediaan Tanah yang dipantau di Jakarta, Senin, mengatakan salah satu masalah dalam penyediaan perumahan yaitu ketersediaan lahan yang terbatas.
Selain itu, Haryo juga menyoroti pembangunan perumahan dari Program Sejuta Rumah oleh pemerintah masih dalam skala kecil dan tidak menyeluruh, belum ada alokasi ruang yang baik di daerah sesuai dengan perencanaan kota, pembangunan infrastruktur yang masih terpisah-pisah, dan lokasi hunian yang jauh dari tempat kerja lantaran keterbatasan lahan yang tersedia.
Sementara itu pembangunan perumahan skala besar oleh swasta tidak pernah menyediakan lahan untuk kelompok MBR.
Menurut Haryo, diperlukan cara-cara yang inovatif dalam menyediakan hunian untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat Indonesia. Saat ini terjadi backlog perumahan sebanyak 7,3 juta unit, terutama bagi kelompok MBR. Jumlah tersebut belum termasuk pertambahan keluarga baru yang bisa mencapai 700 ribu per tahunnya.
Dia mengusulkan beberapa opsi penyediaan hunian dengan memanfaatkan lahan yang sudah ada dan dimiliki pemerintah, maupun pengadaan lahan dengan skema baru dari pemerintah yang bertempat di tengah kota.
“Caranya dengan integrasi layanan pemerintah dengan public housing. Tanahnya misalnya di sini tanah pemerintah yang digunakan untuk kantor kecamatan atau kelurahan. Di atas kantor itu dibuat rusun public housing yang sewa,” katanya.
Dengan penggunaan lahan milik pemerintah yang sudah tersedia, penyediaan rumah susun di kantor kelurahan atau kecamatan tersebut dapat menyediakan hingga 672 unit per tower.
Dengan mengambil contoh penggunaan 68 titik fasilitas layanan pemerintah yang ada di DKI Jakarta, bisa tersedia 45.696 unit hunian untuk memenuhi kebutuhan perumahan.
Haryo menjabarkan opsi lainnya adalah dengan skema pre-emption right untuk penyediaan perumahan publik. Melalui skema pre-emption right ini pemerintah berhak memperoleh 5 persen lahan milik pengembang dengan luas minimal 250 hektare.
Di saat pengembang besar membangun perumahan skala besar, pemerintah mendapatkan 5 hektare lahan dengan cara membeli di harga produksi, bukan harga komersil dengan margin tinggi, dari pengembang.
Ke depannya, pemerintah bisa membangun hunian di lahan tersebut yang dipergunakan untuk penyediaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Skema pre-emption right ini memerlukan regulasi baru karena belum ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengaturnya.