Pembelian Rumah di Masa Pandemi Terus Naik

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA-Ketua Umum asosiasi perusahaan pengembang Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan pembelian rumah subsidi dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sangat diminati oleh masyarakat meskipun ada pandemi Covid-19.

“Karena itu pemerintah harus segera mengalokasikan kuota tambahan untuk FLPP ini apabila nanti habis pada Oktober. Memang masih ada skema subsidi lain melalui Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT) tapi masyarakat masih sangat meminati skema FLPP,” ujarnya, Selasa 20 Juli 2021.

Situasi pandemi diakuinya tidak mengurangi minat masyarakat untuk segmen rumah ini karena kalangan yang mengakses umumnya dari segmen pengguna (end user) yang membutuhkan rumah dengan harga di bawah Rp300 juta.

“Perumahan merupakan kebutuhan papan, jadi sama pentingnya seperti kebutuhan pangan dan sandang. Banyaknya pasangan muda yang menikah juga akan terus meningkatkan permintaan produk hunian bagi segmen ini dan ini yang harus difasilitasi oleh pemerintah,” katanya.

Sementara itu, Direktur Utama Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Arief Sabaruddin optimistis dapat mencapai target penyaluran pembiayaan perumahan FLPP pada Oktober 2021 ini.

Hingga 12 Juli 2021 dana FLPP yang telah tersalurkan sebanyak 96.613 unit senilai Rp10,52 triliun. Penyaluran ini telah mencapai 61,34 persen dari target yang ditetapkan oleh pemerintah sebanyak 157.500 unit tahun 2021.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini