Malaysia & Singapura Kritisi Langkah ASEAN dalam Menangani Krisis di Myanmar

Baca Juga

MATA INDONESIA, KUALA LUMPUR – Menteri Luar Negeri Malaysia, Hishammudin Husein menilai langkah Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN dalam menangani krisis dalam negeri Myanmar sangat lambat.

“Konsensus lima poin adalah terobosan penting dan sarana bagi ASEAN untuk terlibat dan membantu Myanmar menuju kembali normal. Namun, kita harus mengakui bahwa perkembangan konsensus sangat lambat,” tulis Hishammudin Hussein di akun Twitter.

“Masyarakat internasional sedang menunggu tindakan lebih lanjut dari ASEAN,” sambungnya.

Hussein menambahkan bahwa konsensus yang dicapai dalam KTTdi Jakarta pada April, seharusnya dapat membuat ASEAN bertindak lebih baik untuk mengurangi ketegangan dan menghentikan kekerasan di Negeri Pagoda.

“Ini penting dalam usaha mengembalikan Myanmar ke situasi normal melalui peralihan demokratis, proses perdamaian, dan pembangungan ekonomi inklusif,” tambahnya.

Senada dengan Menlu Malaysia, Hishammudin Hussein, Menlu Singapura, Vivian Balakrishnan juga mengkritisi sikap ASEAN yang lamban. Sebagaimana diketahui, situasi di Myanmar menjadi salah satu isu yang turut dibahas pada Pertemuan Khusus Menteri Luar Negeri ASEAN – Cina di Chongqing, Cina.

“Kita semua bersatu tentang perlunya penghentian segera kekerasan, tentang perlunya pembebasan tahanan dan untuk negosiasi dan dialog yang berarti terjadi di antara semua pihak,” kata Dr Balakrishnan kepada wartawan Singapura melalui telepon dari Chongqing, melansir Channel News Asia.

“Dan bahkan penunjukan utusan ASEAN hanya masuk akal jika ada keinginan yang tulus di dalam Myanmar untuk dialog dan negosiasi dan rekonsiliasi yang tulus. Jadi ini masih dalam proses,” imbuhnya.

“Sejujurnya, kami kecewa dengan kemajuan yang lambat – sangat, sangat lambat. Sayangnya, kami tahu bahwa masih ada warga sipil yang terluka atau terbunuh. Tidak ada pembebasan tahanan politik, tidak ada tanda-tanda nyata dari dialog dan negosiasi politik yang berarti. Jadi kita harus menjaga ruang ini,” tuntasnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Dari Posko ke Huntara, Korban Banjir Sumatera Mulai Bangun Kembali Keluarga

Oleh: Nuruddin Alwi Salman (* Bencana banjir bandang atau galodo yang melanda Kota Padang dan sejumlah wilayah di Sumatra Barat bukan hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga guncangan sosial yang mendalam bagi keluarga terdampak. Rumah yang hanyut, mata pencaharian yang terputus, hingga rutinitas keluarga yang tercerai-berai menjadi realitas pahit yang harus dihadapi para pengungsi. Namun di tengah situasi tersebut, langkah-langkah cepat pemerintah dalam fasetanggap darurat hingga transisi menuju pemulihan menunjukkan arah kebijakan yang patutdiapresiasi. Perpindahan warga dari posko darurat menuju hunian sementara (huntara) menjadi simbol penting bahwa proses membangun kembali kehidupan keluarga telahdimulai. Perlu ditegaskan bahwa penanganan bencana tidak semata soal teknis infrastruktur, melainkan juga tentang keberpihakan negara pada pemulihan martabat dan ketahanan sosialwarga. Dalam konteks inilah, rencana pembangunan 100 unit huntara yang disampaikanPresiden Prabowo Subianto dalam kunjungan keduanya ke Sumatra Barat memiliki maknastrategis. Huntara bukan sekadar bangunan sementara, melainkan ruang transisi agar keluargadapat kembali menjalani kehidupan yang lebih stabil sebelum memasuki fase rehabilitasi danrekonstruksi hunian permanen. Presiden Prabowo menegaskan bahwa dalam waktu satu bulan para pengungsi tidak perlulagi tinggal di tenda. Pernyataan ini mencerminkan orientasi kebijakan yang menempatkanaspek kemanusiaan sebagai prioritas. Pengalaman tinggal di tenda dalam jangka panjangterbukti berdampak pada kesehatan, psikologis, dan kohesi keluarga, terutama bagi anak-anakdan lansia. Karena itu, percepatan pembangunan huntara merupakan intervensi sosial yang penting untuk mencegah kerentanan baru pascabencana. Lebih jauh, komitmen Presiden untuk segera melanjutkan pembangunan hunian tetap dengankualitas yang baik menunjukkan kesinambungan kebijakan dari fase darurat menujupemulihan jangka menengah dan panjang. Dalam literatur kebijakan publik, keberhasilanpenanganan bencana sangat ditentukan oleh konsistensi negara dalam memastikan transisiantarfase berjalan mulus, tanpa jeda yang membuat warga kembali terjebak dalamketidakpastian. Kunjungan Presiden yang disertai pengecekan langsung kondisi 271 jiwa dari85 kepala keluarga pengungsi juga memperkuat pesan bahwa negara hadir tidak hanyamelalui pernyataan, tetapi melalui tindakan nyata di lapangan. Dari perspektif politik kebencanaan, kehadiran langsung kepala negara di wilayah terdampakmemiliki efek simbolik dan praktis sekaligus. Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade, menilai kunjungan Presiden Prabowo untuk kedua kalinya pascabanjir sebagai buktikeseriusan pemerintah pusat dalam mempercepat pemulihan Sumatra Barat. Penilaian inirelevan, karena kehadiran Presiden di lapangan memberi sinyal kuat kepada seluruhkementerian dan lembaga bahwa penanganan bencana adalah agenda prioritas yang harusdikawal bersama. Dalam praktik pemerintahan, sinyal politik semacam ini sering kali menjadi faktor penentu percepatan koordinasi lintas sektor. Andre juga menekankan bahwa perhatian Presiden tidak bersifat seremonial, melainkandiwujudkan melalui pengecekan progres pembangunan dan pemenuhan kebutuhan warga. Hal ini penting dicatat, karena salah satu kritik publik terhadap penanganan bencana di masa lalu adalah lemahnya pengawasan implementasi kebijakan. Dengan turun langsung kelapangan, Presiden sekaligus menjalankan fungsi kontrol untuk memastikan bahwa kebijakanyang dirancang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat terdampak. Penanganan bencana juga tidak bisa dilepaskan dari perspektif hak asasi manusia. DirekturKerja Sama HAM Ditjen HAM, Harniati, menegaskan bahwa penyaluran bantuan logistikkepada warga terdampak bukan sekadar sumbangan materi, melainkan wujud kehadirannegara dalam memastikan hak-hak dasar warga tetap terlindungi dalam situasi darurat. Pandangan ini sejalan dengan prinsip bahwa hak atas tempat tinggal layak, kesehatan, danrasa aman tidak boleh hilang hanya karena warga menjadi korban bencana alam. Dengandemikian, kebijakan huntara dan layanan dasar lainnya harus dipahami sebagai pemenuhankewajiban konstitusional negara. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi faktor kunci keberhasilan pemulihan. Wakil Wali Kota Padang, Maigus Nasir, menyambut baik atensi Ditjen HAM danmenekankan pentingnya kolaborasi lintas level pemerintahan. Dalam konteks otonomidaerah, percepatan pemulihan pascabencana sangat bergantung pada keselarasan kebijakanpusat dan kapasitas implementasi di daerah. Langkah Pemerintah Kota Padang yang mengakselerasi penyediaan hunian layak bagi warga yang rumahnya rusak berat atau hanyutmenunjukkan adanya keseriusan di tingkat lokal untuk menerjemahkan kebijakan nasional kedalam tindakan konkret. Dari sudut pandang sosial, perpindahan warga dari posko ke huntara memiliki dampaksignifikan terhadap pemulihan struktur keluarga. Huntara memungkinkan keluarga kembalihidup dalam satu atap, membangun rutinitas, dan memulihkan rasa normalitas yang sempathilang. Proses ini penting untuk memperkuat resiliensi sosial masyarakat pascabencana, sekaligus menjadi fondasi bagi pemulihan ekonomi dan pendidikan anak-anak yang sempatterganggu. Pemulihan pascabencana di...
- Advertisement -

Baca berita yang ini