MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Nafas tersendat, demam, dan tanpa oksigen ekstra yang dapat membantu untuk tetap hidup, begitulah gambaran pasien COVID-19 baru di sebuah rumah sakit di dekat perbatasan Myanmar – India.
Fakta ini menyoroti ancaman terhadap sistem kesehatan yang hampir runtuh sejak kudeta pada awal Februari. Untuk membantu merawat tujuh pasien COVID-19 di RS Cikha, siang dan malam, kepala perawat Lun Za En hanya memiliki teknisi lab dan asisten apoteker.
“Kami tidak memiliki cukup oksigen, cukup peralatan medis, cukup listrik, cukup dokter atau cukup ambulans. Kami beroperasi dengan tiga staf, bukan 11,” kata Lun Za En, dokter berusia 45 tahun yang tinggal di kota berpenduduk lebih dari 10.000 jiwa itu, melansir Reuters, Minggu, 30 Mei 2021.
“Saya sangat khawatir infeksi baru ini akan menyebar ke seluruh negeri. Jika infeksi menyebar ke kota-kota yang padat, itu bisa jadi tidak terkendali,” sambungnya.
Kampanye anti virus corona di Myanmar kandas bersama dengan sistem kesehatan lainnya setelah junta militer merebut kekuasaan dan menggulingkan pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi.
Layanan di rumah sakit umum pun runtuh setelah banyak dokter dan perawat bergabung dalam pemogokan Gerakan Pembangkangan Sipil di garis depan yang menentang kekuasaan junta militer – dan terkadang di garis depan protes yang telah ditumpas dengan darah.
Sedikitnya 13 petugas medis telah terbunuh, menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menunjukkan 179 serangan terhadap petugas kesehatan, fasilitas, dan transportasi –hampir setengah dari semua serangan serupa yang tercatat di seluruh dunia tahun ini, kata perwakilan WHO Myanmar Stephan Paul Jost.
Sekitar 150 petugas kesehatan telah ditangkap. Sementara ratusan dokter dan perawat dalam buruan menyusul tuduhan penghasutan.
Seorang pekerja di salah satu pusat karantina COVID-19 di ibu kota komersial Myanmar, Yangon, mengatakan semua petugas kesehatan spesialis di sana telah bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil.
“Kami tidak menerima pasien baru lagi karena pusat tes COVID-19 tidak memiliki staf untuk diuji,” kata pekerja tersebut, yang menolak menyebutkan namanya.
Sepekan sebelum kudeta, tes COVID-19 secara nasional rata-rata lebih dari 17 ribu sehari. Myanmar telah melaporkan lebih dari 3.200 kematian akibat COVID-19 dari lebih 140 ribu kasus.
Penderita gejala COVID-19 mulai muncul di RS Cikha pada pertengahan Mei. Jaraknya hanya 6 km (empat mil) dari India, dan petugas kesehatan khawatir penyakit itu bisa menjadi jenis B.1.617.2 yang sangat menular – meskipun mereka tidak memiliki sarana untuk mengujinya.
“Sangat mengkhawatirkan bahwa pengujian, pengobatan, dan vaksinasi COVID-19 sangat terbatas di Myanmar karena lebih banyak nyawa berisiko dengan penyebaran varian baru yang lebih berbahaya,” kata Luis Sfeir-Younis, manajer operasi COVID-19 Myanmar untuk Federasi Internasional Masyarakat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
Dokter Lun Za En menambahkan, sebanyak 24 kasus diidentifikasi di Kota Cikha, sebanyak tujuh kasus sangat serius sehingga membutuhkan rawat inap – sebuah tanda betapa sedikitnya kasus yang mungkin terdeteksi.
Demi dapat menolong pasien penderita COVID-19, sang dokter pun memilih untuk tidak bergabung dengan staf medis lainnya ke dalam gerakan pembangkangan.
“Junta militer tidak akan merawat pasien kami,” katanya.
WHO mengatakan pihaknya berusaha menjangkau pihak berwenang dan kelompok lain di daerah itu yang dapat memberikan bantuan, sambil mengakui kesulitan dalam sistem kesehatan yang secara drastis membalikkan pencapaian yang mengesankan selama bertahun-tahun.
Di seluruh Myanmar, beberapa dokter yang mogok telah mendirikan klinik bawah tanah untuk membantu pasien. Ketika sukarelawan Palang Merah Myanmar mendirikan tiga klinik di lingkungan Yangon, mereka dengan cepat memiliki lusinan pasien.