Sejarah Telur, Orang Romawi Awalnya Makan Telur Burung Merak

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Telur menjadi salah satu makanan yang paling sering dikonsumsi. Sebab, telur dapat diolah dengan berbagai cara mulai dari yang direbus, dipanggang, hingga digoreng.

Selain harganya relatif murah dan mudah didapat, kandungan protein yang terdapat di dalamnya pun sangat tinggi. Dikutip dari laman Alodokter, protein merupakan salah satu nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia dalam jumlah yang banyak.

Menurut Willam Caxton dalam bukunya yang berjudul Book of Eneydos, asal muasal nama telur berasal dari rumpun bahasa Indo-Eropa. Sedangkan dalam bahasa Inggris Kuno, telur disebut dengan “oeg”.

Biasanya, manusia mengkonsumsi telur yang berasal dari ikan dan unggas, misalnya ayam dan burung. Meski dalam rantai revolusi unggas hadir sebelum manusia, belum ada penelitian yang menunjukan secara pasti kapan manusia mulai memakan telur.

Sejarawan Kenneth F. Kiple dan Kriemhild Conee Ornelas mengatakan jika telur dari spesies unggas terutama burung, pasti telah dikonsumi sejak awal manusia tinggal di bumi. Pada zaman sejarah, orang Romawi Kuno memakan telur burung merak. Begitu pula dengan orang Tiongkok yang menyukai hidangan dari telur burung merpati.

Mereka menambahkan jika telur apa pun dapat dikonsumsi ketika dalam keadaan mendesak. Contohnya, dalam situasi kelaparan kita bisa mengandalkan telur alligator sekali pun.

Sebuah catatan sejarah mencatat jika masyarakat Tionghoa dan India telah memelihara ayam pada 7000 SM. Sedangkan di Mesir, unggas liar mulai dipelihara sejak 3200 SM. Bangsa Eropa sendiri mulai memiliki ayam peliharaan pada 600 SM.

Selain itu, ayam baru masuk Asia Barat pada tahun 500 SM. Sebelumnya, orang Eropa dan Asia Barat mendapatkan telur dari bebek dan angsa. Di Afrika bagian selatan, telur ayam mulai dimakan pada tahun 500 SM.

Sekitar tahun 300 SM, para peternak ayam di Tiongkok dan Mesir menemukan cara untuk mengerami telur ayam mereka melalui oven tanah liat. Dengan begitu, mereka tidak perlu lagi meletakkan induk ayam diatas telurnya hingga menetas. Alhasil, mereka mendapat keuntungan lebih besar dengan metode tersebut.

Inovasi itu membuat harga telur ayam lebih murah. Masyarakat pun banyak yang mulai mengonsumsinya. Awalnya, mereka memakan telur secara mentah. Namun setelah ditemukan api, mereka mulai memanggang telur di atas bara api. Mereka pun mulai merebus telur setelah adanya penemuan tembikar pada tahun 5000 SM.

Dalam buku yang berjudul History of Food karya Maguelonne Toussaint Samat, terdapat sebuah resep yang berasal dari Yunani kuno menyebutkan jika telur sudah ada sejak era Perikles. Saat itu, orang Yunani masih belum terbiasa untuk mencampurkan telur dalam masakannya. Salah satu makanan yang terbuat dari telur adalah thagomata. Hidangan itu terbuat dari putih telur dan kuning telur sebagai isinya.

Di sisi lain, orang Romawi kuno sangat suka menggunakan telur di banyak masakannya seperti roti, kue, dan pudding. Bahkan, mereka menjadikan telur rebus sebagai hidangan pembuka yang disebut dengan ab ova ad mala.

Pada tahun 1920-an dan 1930-an, peternak telur masih mengandalkan halaman belakang rumahnya. Saat itu, mereka beternak untuk memenuhi kebutuhan dapurnya masing-masing. Ketika memiliki jumlah yang berlebih, mereka akan menjual telur itu ke pasar terdekat. Karena mendapat keuntungan dari hasil penjualan, beberapa peternak mulai menjalankan bisnisnya dengan serius.

Meski begitu, peternak memiliki kendala tersendiri dalam mengembangkan usahanya itu. Karena dibiarkan di luar ruangan, banyak ayam-ayam mereka yang mati, entah itu karena faktor cuaca atau dimakan predator. Tingkat kematian ayam betina saat itu sangat tinggi, mencapai 40 persen.

Untuk menyelesaikan masalah itu, mereka membuat sebuah kandang besar. Meski harus mengeluarkan modal ekstra, ayam yang dibesarkan di dalam kandang jauh lebih sehat. Selain itu, ayam tidak akan dimakan predator maupun terpapar suhu ekstrem.

Perubahan ini menurunkan angka kematian ayam menjadi 18 persen dalam setahun. Meski begitu, muncul masalah lainnya dengan adanya penggunaan kandang seperti masalah sanitasi, sampah, serta telur yang kotor karena terkena kotoran ayam.

Pada akhir 1940-an, beberapa peneliti unggas menyatakan jika penggunaan kandang yang ditinggikan sangat baik untuk ayam. Model kandang ini pun mampu menghindari ayam dan telur dari kotoran-kotoran yang ada. Masalah sanitasi pun bisa diatasi dan cara pembersihan kandang lebih menjadi mudah.

Ketika musim dingin, para peternak akan memodifikasi kandang dengan menutupinya serta menambahkan kipas sebagai ventilasi. Sebuah koveyor pun akan ditambahkan ke dalam kandang untuk mengumpulkan telur.

Hingga kini, produksi telur tiap tahunnya mengalami pertumbuhan. Sekitar 60 persen telur yang diproduksi akan dikonsumsi oleh konsumen, sekitar 9 persen akan digunakan oleh industri jasa makanan, sedangkan sisanya akan dijadikan sebagai produk telur salah satunya mayonnaise.

Reporter: Diani Ratna Utami

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pilkada Serentak Diharapkan Jadi Pendorong Inovasi dalam Pemerintahan

Jakarta - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024, diharapkan dapat mendorong inovasi serta memperkuat sinkronisasi...
- Advertisement -

Baca berita yang ini