MATA INDONESIA, JAKARTA – Isi UU MK nomor 7 tahun 2020 sempat viral di jagad maya. Salah satunya lewat postingan pada akun Twitter @DonAdam68. Namun belakangan postingan tersebut tak bisa lagi diakses, kemungkinan sudah dihapus oleh pemilik akun.
Dalam postingan tersebut, ia mempersoalkan soal penghapusan pasal 59 ayat 2 yang sebelumnya tertera pada UU MK nomor 8 tahun 2011. Ia malah memelintir bahwa revisi UU MK nomor 7 tahun 2020 ini bakal membuat pemerintah tak punya kewajiban untuk menindaklanjuti putusan MK, seandainya UU Omnibus Law Cipta Kerja dipersoalkan di sana. Benarkah demikian?
Rupanya pernyataan Don Adam tak punya dasar hukum yang jelas. Argumennya pun segera dimentahkan oleh Pakar Hukum Universitas Al Azhar Suparji Ahmad.
Ia mengatakan, penghapusan Pasal 59 ayat 2 tak serta merta membuat pemerintah bebas dari segala tuntutan MK terkait peninjauan ulang suatu undang-undang.
“Jadi tafsirnya jangan seperti itu. Jadi tetap saja bahwa jika MK memutuskan untuk merubah ataupun membatalkan sebuah UU maka secara konstitusional harus tetap diikuti (oleh pemerintah),” ujarnya ketika dihubungi Mata Indonesia News, 13 Oktober 2020.
Suparji pun memberikan perbandingan bahwa dalam UU MK no. 8 2011 tersebut, dijelaskan bahwa jika diperlukan atas perubahan itu, maka dibuat sebuah UU baru. Namun, saat ini tak semua tindak lanjut yang dilakukan pemerintah itu harus membuat UU baru.
“Jadi ini tidak mengubah 4 fungsi MK yang diatur dalam UUD 1945,” katanya.
Hal senada juga disampaikan oleh Pakar Hukum Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Ia mengatakan, bahwa dalam UU MK nomor 7 2020, pada pasal 59 ayat (2) dan pasal 57 ayat (2a) dihapus.
Tetapi dalam ayat (3) pasal 57, ada kewajiban memuat dalam BNRI (Berita Negara) paling lambat 30 hari, artinya dengan dimuatnya dalam BNRI bunyi putusan itu mengikat secara hukum.
“Jadi tidak perlu lagi pemerintah dan DPR membuat perubahan sesuai Putusan MK, karena putusan MK dengan sendirinya sudah menjadi UU, yang harus ditaati juga oleh pemerintah, DPR dan penegak hukum,” ujarnya.