MATA INDONESIA, JAKARTA-71 sekolah di 228 kecamatan yang masuk zona hijau di wilayah Jawa Barat diberikan izin menggelar kegiatan belajar tatap muka. Sekolah tersebut diminta untuk menerapkan protokol kesehatan dan mengedepankan aspek keselamatan guru dan siswa.
“Sudah diverifikasi oleh pengawas dan cabang dinas. Kita juga sudah membuat sangat ketat indikator-indikator baru yang terkait pengetatan itu berprinsip bagaimana mengedepankan keselamatan dan kesehatan anak didik,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jabar Dedi Supandi.
Ke-71 sekolah yang telah lolos verifikasi terdiri dari 38 SMA, 28 SMK, dan sisanya SLB. Dari puluhan sekolah yang sudah dinyatakan lolos verifikasi tersebut, belum semuanya menggelar kegiatan belajar tatap muka.
Selain rekomendasi, ada beberapa sekolah yang belum memenuhi indikator tes swab (PCR) yang dilakukan para guru mereka. Sehingga, sekolah tersebut harus memenuhi persyaratan tersebut sebelum buka. Sementara, untuk siswa atau murid sekolah tidak diwajibkan menjalani tes swab.
“Kalau muridnya kita batasi murid yang sehat menurut tanggapan orang tua. Siswa yang kurang sehat kita tidak ikutkan belajar mengajar tatap muka,” katanya.
Adapun sekolah yang sudah diperbolehkan melangsungkan kegiatan belajar mengajar tatap muka dilakukan penjadwalan. Siswa yang belajar di sekolah maksimal empat jam.
“Tidak ada waktu istirahat, jalur masuk berbeda dengan jalur keluar. Selain itu, mata pelajaran blender learning. Mata pelajaran tatap muka ini merupakan mata pelajaran yang menurut survei mata pelajaran masih kesulitan seperti matematika, fisika, dan kimia. Tapi pelajaran yang sifatnya daring tidak diberikan tatap muka,” katanya.
Dedi juga menjelaskan kebijakan sekolah tatap muka akan dievaluasi setiap dua pekan sekali. Hal itu mengingat adanya evaluasi dari sisi Gugus Tugas terkait penetapan zona risiko penyebaran Covid-19.
Dari 71 sekolah tersebut, sejumlah sekolah yang sudah kembali buka berada di kawasan yang sulit terjangkau internet.
“Rata-rata dari satu kabupaten sekitar dua sekolah. Indikatornya dilihat dari apakah sekolah berada di konektivitas internet rendah. Kalaupun konektivitas bagus, sekolah bisa memfasilitasi siswa siswa yang berada di kawasan blank spot,” ujarnya.