MATA INDONESIA, JAKARTA – Kelompok teroris ISIS cenderung lebih pragmatis tentang peran perempuan dalam melakukan jihad. Organisasi yang dipimpin oleh Mohammed Abdul Rahman al Mawli al Salbi ini, peran perempuan lebih leluasa termasuk untuk melakukan jihad.
“Pada kelompok JI ada aturan tegas bahwa yang berhak ikut jihad adalah laki-laki akil balik. Di ISIS tidak ada aturan ini, dan ISIS lebih pragmatis yang penting tujuan tercapai,” kata Stanislaus kepada Mata Indonesia News, Senin 15 Maret 2021.
Sementara ISIS lebih memberi kelonggaran terhadap perempuan dan anak-anak untuk ikut dalam jihad. Hal ini terlihat dari rilisan manifesto 10 ribu kata oleh Brigade Al-Khansaa pada Januari 2015.
Adapun Brigade Al-Khansaa merupakan kelompok brigade ISIS yang seluruh anggotanya adalah perempuan. Mereka berperan sebagai polisi moral bagi kaum perempuan di ibu kota ISIS terdahulu yaitu Raqqa dan Mosul.
Awalnya dalam manifesto itu disebutkan bahwa peran mendasar seorang muslimah adalah menjadi istri, anak-anak dan ibu rumah tangga. Hal ini juga yang mendasari perempuan memiliki kewajiban untuk tetap menyembunyikan diri atau berpakaian tertutup.
Namun secara umum, konsensus yang diakui secara luas di kalangan para jihadis yaitu keterlibatan perempuan dalam peperangan memang diizinkan namun hanya dalam keadaan darurat.
Meski demikian, konvensi ini dilanggar sejak tahun 2017 terlebih saat eksistensi ISIS di Mosul dan Raqqa semakin terdesak akibat serangan sekutu termasuk tentara Irak maupun Pasukan Demokratik Suriah-Kurdi.
Akhirnya, perubahan pada dogma itu pertama kali tersebar di majalah Rumiyah yang terbit pada Juni 2017. Pada intinya menjelaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi pengikut perempuan untuk terlibat dalam jihad melawan musuh.
Pengamat intelijen Stanislaus Riyanta juga menilai bahwa fenomena ini juga dimanfaatkan oleh ISIS karena cenderung lebih aman.
“Sehingga melibatkan perempuan dan anak-anak bisa dilakukan, apalagi lebih aman karena relatif tidak dicurigai,” kata Stanislaus.