Terungkap, Putra Biden Pegang 10 Persen Saham di Perusahan Cina yang Menindas Muslim Uighur

Baca Juga

MATA INDONESIA, WASHINGTON – Putra Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, Hunter Biden diketahui merupakan pemegang saham bernilai jutaan USD di sebuah perusahaan investasi Cina.

Yang mengejutkan adalah perusahaan tersebut turut membantu Beijing memata-matai Muslim Uighur. Menariknya, fakta ini diungkapkan oleh pemerintah Negeri Paman Sam.

Hunter telah lama memegang 10 persen kepemilikan saham di perusahaan investasi Cina Bohai Harvest – yang berinvestasi di beberapa perusahaan Cina yang kontroversial, salah satu perusahaan yang dikenai sanksi adalah Megvii.

Pada 2019, Megvii dikenai sanksi karena dugaan partisipasinya dalam penindasan Cina dan pengawasan teknologi tinggi di wilayah Xinjiang. Pada Kamis (16/12), perusahaan itu mendapat sanksi dari Kantor Pengawasan Aset Asing Departemen Keuangan.

“Megvii termasuk di antara delapan perusahaan teknologi Cina yang dituduh secara aktif mendukung pengawasan biometrik dan pelacakan etnis dan agama minoritas di Cina, khususnya minoritas Uighur yang mayoritas Muslim di Xinjiang,” kata Departemen Keuangan, melansir Gazette.

“Megvii beroperasi di sektor teknologi pengawasan Cina dan mengendalikan perusahaan lain yang membuat perangkat lunak khusus yang dirancang untuk melakukan kegiatan pengawasan etnis minoritas, termasuk Uighur,” sambungnya.

Amerika Serikat mengatakan bahwa salah satu perangkat lunak AI semacam itu dapat mengenali orang sebagai bagian dari etnis minoritas Uyghur dan mengirim alarm otomatis ke otoritas pemerintah.

Publik pun kini dilarang membeli atau menjual sekuritas tertentu yang terkait dengan kelompok-kelompok tersebut, yang semuanya diberi label baru sebagai bagian dari kompleks industri militer Cina.

Sementara itu, pengacara Hunter Biden mengatakan bulan November tahun lalu bahwa LLC Skaneateles yang dimilikinya tidak lagi memegang saham di Bohai Harvest, meskipun catatan publik yang tersedia tidak meyakinkan.

Baik pemerintahan mantan Presiden Donald Trump maupun Joe Biden telah menyatakan pemerintah Cina melakukan genosida terhadap Muslim Uighur dan minoritas agama serta etnis lainnya di kawasan Cina barat.

Tinjauan terhadap dokumen keuangan Bohai Harvest menunjukkan bahwa Bohai Harvest memiliki akses ke ratusan juta USD untuk investasi Cina dan global, serta membuat jaringan rumit perusahaan cangkang dan anak perusahaan yang berbasis di Cina dan Pulau Cayman.

The Financial Times melaporkan bahwa Bohai Harvest berinvestasi di Megvii pada 2017. Megvii dan sesama raksasa teknologi Huawei diduga membantu Partai Komunis Cina memata-matai Muslim Uighur dengan menggunakan teknologi pengenalan wajah.

Akan tetapi, pihak Huawei dan Megvii membantah melakukan kesalahan, dan Kementerian Luar Negeri Cina secara tegas menyebut laporan itu murni fitnah.

Chris Clark, pengacara Hunter Biden, mengatakan kepada New York Times pada November bahwa putra presiden tidak lagi memiliki kepentingan, secara langsung atau tidak langsung, baik dalam BHR atau Skaneateles.

Namun, berdasarkan catatan bisnis Cina, Hunter Biden masih memegang 10 persen saham ekuitas di Bohai Harvest. Tetapi ada kemungkinan catatan tersebut belum diperbarui.

Sebanyak tiga situs web bisnis Cina, dijalankan oleh Baidu, Qixin, dan QCC, semuanya saat ini menunjukkan Skaneateles masih menjadi sponsor/pemegang saham dengan 3 juta Yuan, atau sekitar 464 ribu USD.

Bohai Harvest juga berinvestasi di Cina General Nuclear Power Group milik negara, yang masuk daftar hitam tahun 2019 karena diduga berusaha memperoleh teknologi nuklir AS untuk penggunaan militer di Cina dan perusahaan Cina bekerja sama dengan Aviation Industry Corporation milik negara.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pencegahan TPPO di Jogja Diperkuat, Gugus Tugas Dibentuk Kurangi Kasus

Mata Indonesia, Yogyakarta - Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) semakin menjadi perhatian serius di Indonesia, termasuk di Kota Yogyakarta. Korban TPPO seringkali berasal dari kalangan Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang terjerat dalam kasus perdagangan manusia akibat berbagai faktor risiko.
- Advertisement -

Baca berita yang ini