MATA INDONESIA, JAKARTA-Putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Cipta kerja bisa mengganggu hubungan antara industri dengan pekerja. Hal itu dikatakan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira.
Ini efeknya tidak main-main ya sampai ke level pabrik guncangan dari UU Cipta Kerja diputus inkonstitusional oleh MK,” kata Bhima.
Pemicunya terhadap ketentuan pengupahan. Putusan peradilan tertinggi tersebut menghasilkan kebingungan akan penggunaan dasar hukum pengupahan.
Atas putusan inkonstitusional tersebut membuat pengusaha dihadapkan pada pilihan penggunaan PP 36 sebagai aturan turun UU Cipta Kerja atau tidak.
Mengingat dalam salah satu amar putusan MK menyatakan menangguhkan segala tindak/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksanaan baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Bhima menambahkan, putusan MK tersebut akan berdampak ke hampir semua sektor bisnis. Terutama sektor industri padat karya dan pertambangan.
Sebelumnya, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Pemerintah diminta 6untuk merevisi undang-undang tersebut dalam waktu 2 tahun.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani menilai putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan Undang-Undang Cipta Kerja hanya meminta pemerintah untuk melakukan revisi dari sisi hukum formil. Alasannya, metode omnibus law belum menjadi bagian dari UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.
Artinya lanjut dia, tidak ada perubahan apapun dalam materi UU Cipta Kerja. Sehingga dia optimis dalam waktu dua tahun pemerintah bisa menyelesaikan perbaikan yang diminta oleh hakim konstitusi.