MATA INDONESIA, JAKARTA – Forum Investasi Tahunan 2022 (Annual Investment Forum 2022) sebagai bagian pertemuan G20 International Financial Architecture Working Group (IFAWG) baru saja tuntas. Pertemuan yang terselenggara oleh Presidensi G20 Indonesia, Bank Indonesia, dan Kementerian Keuangan itu telah memunculkan komitmen bersama.
Pertemuan yang diselenggarakan secara virtual sejak 27 Januari hingga 28 Januari 2022 itu merupakan rangkaian untuk mendukung Presidensi G20 Indonesia yang memiliki enam agenda prioritas di jalur keuangan (finance track). Agenda pertama, perumusan normalisasi kebijakan (exit strategy) agar tetap kondusif bagi pemulihan ekonomi dunia.
Kedua, perumusan respons kebijakan reformasi struktural di sektor riil untuk mengatasi luka memar (scarring effect) dari pandemi Covid-19. Ketiga, mendorong kerja sama antarnegara dalam sistem pembayaran digital.
Keempat, mendorong produktivitas dan kelima, perluasan ekonomi. Kemudian agenda keenam, keuangan inklusif serta koordinasi internasional dalam agenda perpajakan untuk mencapai sistem perpajakan internasional yang adil, berkelanjutan, dan modern.
Forum itu menilai sistem keuangan internasional saat ini secara umum lebih berdaya tahan. Di tengah peningkatan jumlah kasus Covid-19 yang berasal dari varian Omicron. Oleh karena itu, menurut Rudy B Hutabarat, Kepala Departemen Pengelolaan Devisa Bank Indonesia, berbagai risiko terhadap sistem keuangan internasional itu perlu antisipasi agar tidak menghambat proses pemulihan ekonomi dunia.
Selain persoalan sistem keuangan internasional, seminar itu juga muncul bahasan soal pendampingan bagi negara miskin. Khususnya untuk dapat meningkatkan kemampuan pengelolaan utang. Indonesia, menurut Rudi, memberikan penekanan soal pentingnya memperkuat sistem keuangan internasional. Dan menjaga semangat multilateral dalam menghadapi tantangan global di tengah pandemi.
Indonesia juga menegaskan dukungan bagi upaya membantu negara miskin dalam mengatasi pandemi. “Saat ini, negara-negara berkembang memiliki kondisi ekonomi dan keuangan yang lebih baik, dalam menghadapi normalisasi kebijakan moneter (exit strategy) oleh bank-bank sentral negara utama,” ujarnya.
Rudy menambahkan, diskusi kebijakan antarnegara terkait exit strategy perlu dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi dari berbagai negara. Khususnya dalam upaya memperkuat monitoring risiko global. Dan meminimalkan dampak negatif yang dapat timbul. Rudy juga mengharapkan, seminar ini dapat membuka wawasan terkait salah satu agenda penting G20, yakni upaya mensinkronkan divergensi kebijakan global (synchronize the unsynchronized world) dalam memastikan tercapainya tema G20 “Recover Together, Recover Stronger”.
Selain Rudy B Hutabarat, hadir pembicara lain dalam seminar itu Ilhyock Shim dari Bank for International Settlement (BIS). Sebuah bank yang memiliki misi untuk mendukung bank sentral untuk mencapai stabilitas moneter dan finansial melalui kerja sama internasional. Shim memaparkan tentang kekuatan ekonomi negara-negara emerging market.
Bersama Shim, pembicara lainnya adalah Andre de Silva dari HSBC. Ia memberikan pemaparan soal pandangan pelaku pasar terhadap kesiapan negara-negara emerging market dalam menghadapi normalisasi kebijakan.
Ketiga pembicara itu berbicara dalam seminar internasional sebagai side event Presidensi G20 Indonesia 2022 yang menjadi rangkaian acara Bank Indonesia Annual Investment Forum 2022 dengan topik Anticipating the Impact of Global Central Bank Exit Strategy on Emerging Market’s Capital Flows, Sabtu 29 Januari 2022.
Selain pembahasan soal sistem keuangan internasional, pertemuan G20 IFAWG, juga membahas dinamika aliran modal beserta respons kebijakan. Khususnya di negara berkembang di hari pertama.