Dalam setiap ajang pemilihan kepala daerah, dinamika politik di Indonesia selalu menarik untuk diamati. Namun, di balik gemerlapnya kampanye dan janji-janji manis, ada bahaya yang mengintai demokrasi kita, yaitu politisasi isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
Politisasi SARA bukan hanya merusak keharmonisan sosial, tetapi juga menjadi ancaman serius bagi keutuhan demokrasi di Indonesia. Kondisi ini harus segera diatasi, bukan hanya oleh penyelenggara pemilu, tetapi juga oleh seluruh elemen masyarakat yang peduli akan masa depan bangsa.
Pemilihan Gubernur di Daerah Khusus Jakarta selalu menjadi sorotan, hal ini karena kompleksitas sosial dan politiknya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI Jakarta telah mengidentifikasi sejumlah kerawanan yang patut menjadi perhatian serius dalam Pilgub DKI. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa kampanye yang sarat dengan materi SARA cenderung memecah persatuan dan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat.
Dalam peta kerawanan Bawaslu, isu SARA menempati kategori tertinggi. Fenomena ini tak bisa dianggap sepele. Politisasi SARA kerap kali diwujudkan dalam bentuk seruan untuk menolak calon tertentu berdasarkan latar belakang suku, agama, atau rasnya. Lebih dari itu, tindakan kampanye yang melanggar aturan dan penyebaran materi hoaks yang bermuatan SARA di media sosial semakin memperparah situasi.
Kondisi ini menciptakan atmosfer pemilihan yang tidak sehat. Ketegangan meningkat, dan masyarakat terbelah berdasarkan identitas primordial. Padahal, esensi dari demokrasi adalah memilih pemimpin berdasarkan kemampuan dan visi yang mereka tawarkan, bukan karena latar belakang etnis atau agama mereka. Politisasi SARA hanya akan membawa kita mundur ke masa lalu yang suram, di mana keberagaman dipandang sebagai ancaman, bukan kekayaan.
Di tahap pemungutan suara, kerawanan juga terlihat. Salah satu indikatornya adalah kemungkinan penghitungan suara ulang dan adanya mobilisasi pemilih tambahan secara mendadak di hari pemungutan suara.
Hal ini menjadi sinyal bahwa tahapan ini juga perlu mendapatkan perhatian khusus dari semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Kepentingan sesaat tidak boleh mengorbankan prinsip dasar demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan.
Bawaslu juga mencatat adanya kerawanan sedang dan rendah, yang mencakup kampanye di luar masa kampanye, konflik antar pendukung pasangan calon, serta masalah administratif seperti pemilih yang tidak memenuhi syarat tetapi terdaftar dalam daftar pemilih. Meskipun terlihat lebih ringan, kerawanan ini tetap mempengaruhi kualitas pemilu dan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.
Dalam konteks yang lebih luas, ancaman politisasi SARA tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di berbagai daerah di Indonesia. Setiap kali isu SARA dimanfaatkan untuk kepentingan politik, kita sebenarnya sedang bermain api yang bisa membakar persatuan dan kesatuan bangsa.
Ketegangan berbasis identitas ini bisa meluas dan menciptakan dampak jangka panjang yang merusak, termasuk hilangnya kepercayaan publik terhadap proses pemilu dan lembaga-lembaga demokrasi.
Pemilu yang sehat seharusnya menjadi ajang bagi kontestasi gagasan, bukan ajang untuk memperuncing perbedaan. Di sinilah pentingnya peran partai politik, calon, dan tim sukses dalam menciptakan iklim politik yang sehat. Mereka harus mengedepankan program kerja yang jelas dan berorientasi pada kepentingan publik, bukan sekadar memainkan isu-isu identitas yang justru bisa memecah belah masyarakat.
Masyarakat juga harus semakin cerdas dalam menyikapi isu-isu SARA yang dilemparkan dalam kampanye politik. Partisipasi aktif masyarakat dalam pemilu, baik sebagai pemilih maupun pengawas, menjadi kunci untuk memastikan bahwa politisasi SARA tidak mendapatkan tempat dalam demokrasi kita.
Beralih ke Maluku, Bawaslu Provinsi Maluku melakukan langkah proaktif dengan menyebarluaskan edukasi politik dan pengawasan pemilu ke daerah-daerah terpencil. Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Maluku, Daim Baco Rahawarin, menjelaskan bahwa edukasi ini penting untuk mendorong pengawasan partisipatif berbasis masyarakat sipil.
Daim menegaskan bahwa meskipun baru dua desa yang dikunjungi, Bawaslu berkomitmen untuk terus memperluas jangkauan edukasi ke berbagai kabupaten dan kota. Tujuannya adalah membentuk karakter pengawas pemilu di masyarakat serta mendorong partisipasi aktif dalam Pilkada yang akan datang. Masyarakat diharapkan bisa menggunakan hak pilih mereka dengan bijak untuk memastikan demokrasi berjalan dengan baik.
Di Kota Bima, upaya pencegahan politisasi SARA semakin ditingkatkan melalui kerja sama antara Bawaslu Kota Bima dan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kota Bima. Memorandum of Understanding (MoU) yang baru ditandatangani menunjukkan komitmen kedua lembaga untuk memerangi politik uang dan politisasi SARA. Ketua Bawaslu Kota Bima, Atina, berharap kolaborasi ini akan memaksimalkan pengawasan dan pencegahan pelanggaran.
Menurut, Koordinator Divisi Hukum, Pencegahan, Parmas & Humas (Kordiv HP2H) Bawaslu Kota Bima, Idhar MoU ini mencakup beberapa poin penting seperti pertukaran data, penyuluhan mengenai bahaya politik uang dan SARA, serta pengawasan netralitas ASN. Kerja sama ini diharapkan dapat mencegah pelanggaran dan memastikan Pilkada berjalan dengan aman dan damai.
Sebagai masyarakat yang hidup dalam keberagaman, kita harus bersatu menolak segala bentuk politisasi SARA. Ini bukan hanya soal memilih pemimpin yang tepat, tetapi juga soal menjaga warisan demokrasi dan keberagaman yang telah kita bangun bersama. Mari bersama-sama kita jaga demokrasi Indonesia dari ancaman politisasi SARA, demi masa depan yang lebih baik untuk semua.