MATA INDONESIA, JAKARTA-Perlunya transisi teknologi terkait peralihan paradigma kendaraan bermotor berbahan bakar minyak menuju kendaraan listrik. Tapi, tidak menggangu industri pendukung otomotif lainnya.
“Pengalihan teknologi diharapkan berjalan secara alami, bisa cepat atau lambat tetapi sebaiknya mengakomodasi semua pihak,” kata Ketua V Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Shodiq Wicaksono.
Dirinya mencatat setidaknya ada 1,5 juta karyawan yang bekerja di industri pendukung otomotif tier 1 sampai tier 3 yang perlu diperhatikan karena akan terdampak kebijakan mobil listrik tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), Hamdhani Dzulkarnaen Salim memperkirakan sekitar 47 persen perusahaan komponen yang menjadi anggota asosiasinya akan terdampak kebijakan kendaraan listrik.
“Terutama perusahaan yang yang memproduksi mesin dan ribuan komponen di dalamnya, kemudian produsen transmisi juga akan terpengaruh, yang memproduksi tangki dan filter BBM serta oli, sampai exhaust valve pasti akan terpengaruh,” katanya.
Pengembangan kendaraan listrik di Indonesia menurut Hamdhani mau tidak mau membuat anggota GIAMM yang nanti hasil produksinya tidak lagi digunakan untuk membuat komponen baru dengan nilai investasi yang tidak sedikit.
“Untuk bisa melakukan itu, kami perlu partner yang mumpuni di bidang teknologi kendaraan listrik. Sementara kalau diperhatikan, pabrikan otomotif contohnya Toyota, Hyundai, Tesla, dan Nissan itu mereka justru memiliki pabrik baterai sendiri. Buat kami, ini menjadi tantangan,” katanya.
Dosen Desain Produk FSRD-ITB Yannes Martinus Pasaribu menilai, pemerintah memegang peranan penting dalam mensukseskan program kendaraan listrik untuk menekan emisi karbon itu.
Menurut Yannes, Indonesia memiliki potensi besar menjadi negara kaya karena menguasai sekitar 23 persen cadangan nikel dunia ditambah memiliki sumber daya elemen penyusun baterai litium.
Apabila seluruhnya dipergunakan sebagai modal mendirikan industri baterai nasional, maka bukan tidak mungkin pada 2030 mendatang Indonesia bisa menjadi negara produsen baterai kendaraan listrik terbaik di ASEAN.
“Untuk menuju ke sana perlu leadership yang kuat. Sementara dalam proses menuju ke sana, Indonesia kan ada potensi penerimaan dari carbon tax minimal Rp3,03 triliun per tahun,” katanya.