MATA INDONESIA, INDONESIA – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump memberikan pengampunan penuh kepada 15 orang, termasuk empat mantan kontraktor pemerintah yang dihukum dalam pembantaian tahun 2007 di Baghdad Irak.
Kala itu, lebih dari selusin warga sipil Irak dilaporkan merenggang nyawa. Kebiadaban ini sempat menyebabkan keributan di dunia internasional atas penggunaan penjaga keamanan swasta di zona perang.
Salah seorang yang mendapatkan pengampunan Presiden Trump adalah George Papadopoulos, mantan asisten kampanye yang mengaku bersalah sebagai bagian dari penyelidikan campur tangan Rusia dalam Pemilihan Presiden tahun 2016.
Selain itu, menantu miliuner Rusia, German Khan yang berasal dari Belanda, Alex van der Zwan juga masuk dalam daftar orang yang mendapat pengampunan Presiden Trump. Ia dihukum 30 hari penjara dan denda sebesar 20 ribu USD lantaran berbohong kepada penyelidik Penasihat Khusus AS, Robert Mueller mengenai kontak dengan pejabat dalam kampanye Presiden Trump tahun 2016.
Mantan anggota dinas AS, Nicholas Slatten, Paul Slough, Evan Liberty, dan Dustin Heard yang dihukum karena membunuh warga sipil Irak ketika bekerja sebagai kontraktor tahun 2007 juga turut mendapat pengampunan.
Slough, Liberty, dan Heard dijatuhi hukuman 30 tahun penjara. Namun, usai melakukan banding, mereka masing-masing diberi hukuman yang jauh lebih pendek. Sedangkan Slatten, yang dipersalahkan jaksa penuntut karena memicu perkelahian, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Ada juga nama mantan anggota kongres Partai Republik dari California yang mengaku bersalah karena menyalahkangunakan dana kampanye tahun lalu yang turut diampuni. Sementara Alfonso Costa, dokter gigi asal Pittsburgh yang mengaku bersalah atas penipuan perawatan kesehatan terkait tagihan palsu.
Keputusan Presiden Trump memberikan pengampunan dan pengurangan masa hukuman terhadap sejumlah orang menjelang berakhirnya masa jabatannya menuai kontroversi. Banyak kalangan dari dalam negeri AS sendiri turut mengecam kebijakan sang presiden.
“Penembakan itu menyebabkan kehancuran di Irak, rasa malu, rasa ngeri di Amerika Serikat, serta skandal di seluruh dunia. Presiden Trump menghina ingatan para korban Irak dan semakin menurunkan jabatannya atas tindakan ini,” kata Direktur proyek keamanan nasional American Civil Liberties Union, Hina Samsi.
Jurnalis pemenang Penghargaan Pulitzer dan salah satu pendiri Intercept, Glenn Greenwald, juga mengkritik pengampunan Presiden Trump yang ia sebut “aneh”.
“Sementara itu, dua orang yang mengekspos kejahatan perang daripada melakukannya – Snowden & Assange – menunggu untuk melihat apakah Trump dapat menemukan keberanian,” tulis Greenwald dalam akun Twitter-nya.
Statement-nya mengacu pada mantan agen CIA Edward Snowden, yang didakwa di bawah Undang-Undang Spionase pada 2013 dengan mengungkapkan rincian program pengawasan pemerintah yang sangat rahasia dan penerbit WikiLeaks Julian Assange yang menghadapi ekstradisi ke AS dari Inggris.