MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Massa penentang junta militer Myanmar, anggota parlemen yang digulingkan, para pemimpin protes anti-kudeta, serta etnis minoritas membentuk pemerintah persatuan. Mereka mengatakan, tujuan mereka adalah untuk membasmi kekuasaan militer.
Pemerintah persatuan merilis daftar pemegang jabatan termasuk anggota etnis minoritas dan pemimpin protes, menggarisbawahi kesatuan tujuan antara gerakan pro-demokrasi dan komunitas yang mencari otonomi, beberapa di antaranya telah berperang dengan pemerintah pusat selama beberapa dekade.
Myanmar –negara yang berbatasan dengan Bangladesh dan India itu berada dalam kekacauan sejak kudeta 1 Februari yang menggulingkan pemerintah sipil yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi.
Sejak saat itu, sebagian besar warga Myanmar turun ke jalan mendesak junta militer mengembalikan kekuasaan, menuntut pemulihan demokrasi, menentang tindakan keras yang dilakukan oleh pasukan keamanan yang menewaskan lebih dari 700 warga sipil.
“Tolong sambut pemerintah rakyat,” kata aktivis demokrasi veteran Min Ko Naing dalam pidato video 10 menit yang mengumumkan pembentukan Pemerintah Persatuan Nasional, melansir Reuters, Jumat, 16 April 2021.
Sementara menetapkan beberapa posisi, Min Ko Naing mengatakan keinginan rakyat adalah prioritas pemerintah persatuan, sambil mengakui skala tugas yang ada. Salah satu tujuan utama pemerintah persatuan adalah mendapatkan dukungan dan pengakuan internasional.
“Kami berusaha mengeluarkan ini dari akarnya sehingga kami harus banyak berkorban,” katanya mengacu pada junta militer Myanmar.
Para pemimpin junta militer Myanmar berdalih bahwa partai yang pimpin oleh Aung San Suu Kyi, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) melakukan penipuan dalam pemilihan umum pada November 2020. Namun, komisi pemilihan menolak tuduhan tersebut.
Penindasan berdarah militer terhadap protes mengejutkan dan memicu amarah sebagian besar dunia. Tekanan internasional juga perlahan dibangun, terutama dari negara-negara Barat.
Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi kepada perusahaan permata milik Myanmar. Langkah ini ditempuh AS dalam upaya membatasi junta militer menghasilkan pendapatan.
Ini juga merupakan langkah terbaru dari pemerintahan Presiden Joe Biden yang menargetkan para jenderal –yang merebut kekuasaan di Myanmar pada 1 Februari dan telah menewaskan ratusan warga sipil dalam demonstrasi yang menentang kudeta.