Pemerintah Bayangan: Junta Militer Myanmar Melanggar HAM

Baca Juga

MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Massa anti pemerintahan junta militer kembali berunjuk rasa di kota-kota sekitar Myanmar untuk menandakan 100 hari penggulingan pemerintah terpilih oleh para jenderal yang membuat negara tersebut terjebak dalam krisis terbesar sepanjang sejarah.

Junta telah berjuang untuk memerintah Myanmar sejak merebut kekuasaan pada 1 Februari –memicu terjadinya protes, pemogokan, dan kampanye pembangkangan sipil yang melumpuhkan bisnis dan birokrasi dalam penolakan publik yang luar biasa terhadap kembalinya kekuasaan militer.

Para pengunjuk rasa di kota terbesar Yangon membawa spanduk bertuliskan “Yangon menyerang untuk menyingkirkan musuh sepenuhnya”, sementara demonstran di Hpakant di Negara Bagian Kachin berbaris meneriakkan “Revolusi harus menang”.

Untuk melakukan perlawanan, kelompok oposisi membentuk pemerintahan bayangan yang menamakan diri mereka sebagai Pemerintah Persatuan Nasional atau National Unity Government (NUG). Pada pekan lalu, NUG bahkan mengumumkan pembentukan Angkatan Pertahanan Rakyat.

Dalam akun Twitter, juru bicara NUG Dr. Sasa, mengatakan bahwa dia dan menteri lain dari pemerintah bayangan akan bertemu dengan asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk membahas bagaimana AS dan sekutunya dapat bekerja sama untuk mengakhiri pemerintahan teror ini. namun, ia tidak merinci pertemuan itu.

Sebagaimana diketahui, militer menangkap pemimpin terpilih Myanmar, Aung San Suu Kyi beberapa jam sebelum kudeta. Militer berdalih pengambilalihan itu untuk melindungi demokrasi Myanmar yang tercoreng akibat penipuan saat pemilu November 2020. Akan tetapi, klaim junta ditolak pihak komisi pemilihan.

Dalam sebuah pernyataan, pemerintah NUG menegaskan bahwa junta militer harus mengakui bertanggung jawab atas kejahatan internasional.

“Sudah waktunya untuk menjawab pertanyaan dengan jelas apakah Anda akan berdiri di sisi hak asasi manusia dan keadilan, atau Anda akan terus melanggar hak asasi manusia dengan melakukan kekerasan dan kemudian menghadapi pengadilan internasional,” kata Dr. Sasa, melansir Reuters, Rabu, 12 Mei 2021.

Terlepas dari penerapan sanksi ekonomi terbatas oleh AS, Uni Eropa, dan sejumlah negara lain, junta militer Myanmar tidak menunjukkan tanda-tanda kompromi.

Pasukan keamanan telah menewaskan 781 warga sipil sejak kudeta, termasuk 52 anak-anak, dan 3.843 orang dalam tahanan, menurut data kelompok pemantau Asosiasi Tahanan Politik (AAPP) – angka yang juga menjadi rujukan PBB.

“Jelas bahwa perlu ada keterlibatan internasional yang lebih besar untuk mencegah situasi hak asasi manusia di Myanmar semakin memburuk,” kata Rupert Colville, juru bicara Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Di Era Pemerintahan Presiden Prabowo, Korban Judol Diberikan Perawatan Intensif di RSCM

Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Pemberdayaan Masyarakat mengumumankan adanya inisiatif baru dalam upaya menangani dampak sosial dan psikologis...
- Advertisement -

Baca berita yang ini