Parlemen AS Minta Biden Hapus Label Teroris terhadap Houthi Yaman

Baca Juga

MATA INDONESIA, INTERNASIONAL – Anggota Parlemen Amerika Serikat (AS) menyerukan Presiden terpilih Joe Biden untuk membatalkan keputusan Presiden Donald Trump yang memberikan label kepada pemberontak Houthi Yaman sebagai organisasi teroris asing. Trump juga mengecamnya sebagai kelompok yang berpandangan sempit.

Ketua Komite Urusan Luar Negeri DPR, Gregory Meeks mengatakan, penunjukkan yang diumumkan oleh Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo pada Senin (11/1) akan membahayakan kehidupan rakyat Yaman.

“Pemerintahan Trump belum mengetahui bahwa mereka tidak dapat memberikan sanksi untuk keluar dari perang saudara,” kata Meeks dalam sebuah pernyataan, melansir Al Jazeera.

Pada Minggu (10/1), Menlu Pompeo mengatakan bahwa penetapan situs organisasi ini sebagai bentuk respons terhadap berbagai aksi Houthi, seperti penyerangan lintas perbatasan yang membahayakan keselamatan warga sipil, infrastruktur publik, dan pengiriman komersial.

“Penunjukan itu juga dimaksudkan untuk memajukan upaya untuk mencapai Yaman yang damai, berdaulat, dan bersatu yang bebas dari campur tangan Iran dan berdamai dengan tetangganya,” ungkap Pompeo.

Akan tetapi, seorang analis Yaman di International Crisis Group (ICG), Peter Salisbury mengatakan, penunjukan itu tidak banyak membantu aktivitas dan risiko Houthi secara kolektif justru akan menyengsarakan warga Yaman.

Dalam serangkaian tulisannya di akun Twitter, Salisbury mengungkapkan bahwa sanksi akan melemahkan mereka (Houthi) secara finansial dan meyakinkan pendukung mereka bahwa Houthi tidak memiliki kelangsungan hidup jangka panjang.

“Penelitian dan analisis kami menunjukkan sebaliknya. Karena jika dampak dari penunjukan ini setengah buruk seperti yang diperkirakan, maka jutaan warga Yaman yang berjuang untuk makan, justru yang akan membayar harganya, sementara prospek perdamaian yang sudah jauh menghilang,” tulis Salisbuty.

Organisasi kemanusiaan itu juga memperingatkan bahwa langkah tersebut dapat mempersulit kemampuan mereka untuk membantu warga sipil yang tinggal di daerah yang dikuasai Houthi.

Scott Paul, pemimpin kebijakan kemanusiaan Oxfam America, menggambarkan keputusan AS sebagai kebijakan kontra-produktif dan berbahaya yang akan membahayakan nyawa tak berdosa.

“Penunjukan ini tidak akan membantu menyelesaikan konflik atau memberikan keadilan atas pelanggaran dan pelanggaran yang dilakukan selama perang; itu hanya akan menambah krisis bagi jutaan warga Yaman yang berjuang untuk kelangsungan hidup mereka,” kata Scott Paul.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini