MATA INDONESIA, KABUL – Di Provinsi Badakhshan, Afghanistan, setidaknya ada 25 ribu hingga 30 ribu pecandu narkoba, keluarga Jan Begum adalah salah satunya. Baik putra maupun suaminya, adalah pecandu.
Diungkapkan bahwa keduanya menggunakan narkotika tipe metamfetamin dan heroin. Begum juga mengatakan bahwa putra sulungnya sudah tak lagi di rumah dan tak diketahui di mana rimbanya.
“Kami tidak punya apa-apa lagi. Baik suami dan anak sama-sama menganggur, suami pecandu, anak juga pecandu. Anak sulung saya tidak ada di sini. Dia menghilang selama tiga tahun. Saya tidak tahu apakah dia masih hidup atau mati,” kata Jan Begum kepada FLY, melansir Mouab, Kamis, 21 Oktober 2021.
“Ada empat di keluarga kami, dan kami berempat adalah pecandu. Ya, kami menjual semuanya. Kami menjual sprei dan semua yang kami miliki. Dan dengan uang itu, kami membeli narkoba dan menggunakannya,” lanjutnya.
Keluarga Jan Begum dulu tinggal di sebuah rumah di Faizabad. Ketika pemilik rumah mengetahui bahwa keluarganya menggunakan narkoba, pemilik rumah mengusir mereka.
Sekarang, mereka mengemis, menjadi pekerja laundry, dan menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk narkoba. Mereka telah dirawat beberapa kali karena kecanduan, tetapi kemudian kambuh.
Samiullah, pemuda berusia 18 tahun itu mengungkapkan bahwa ia menggunakan narkoba dengan ibu, ayah, dan saudara laki-lakinya. Ia bahkan sudah mengenal dan akrab dengan barang haram itu sejak kecil.
“Saya menggunakan narkoba sejak kecil. Saya makan dengan orang tua saya. Saya pergi mencari obat-obatan dan kemudian saya meminumnya. Saya berharap pemerintah akan datang dan mengobati kami. Saya ingin bekerja sebagai pelayan di sebuah hotel,” katanya.
Di Provinsi Nangahar, anak-anak dan pemuda bekerja di ladang opium mengumpulkan opium bersama orang tua mereka. Sebagaimana diketahui, Afghanistan merupakan produsen opium terbesar di dunia.
Ada lagi Mustafa. Pemuda berusia 16 tahun itu adalah salah satu dari pemuda yang bekerja di ladang opium dan telah kecanduan narkoba sejak lama. Pekerjaan, alasannya menjadi pecandu.
“Nah, itu narkotika, itu membuat kita mabuk. Ketika kita mengumpulkan, kita menarik napas, dan itu membuat kita pusing, membuat kita mabuk, dan kemudian kita duduk atau pulang dengan alasan untuk bersantai. Itu berdampak buruk,” kata Mustafa.
“Saya sakit kepala ketika pergi ke sekolah. Saya mendapat izin untuk pulang. Opium memiliki efek yang sangat buruk karena membuat kepala kita pusing, kita mabuk. Candu menyebabkan kondisi seperti itu di tubuh kita,” lanjut Mustafa.
Ketika musim panen opium berakhir, Mustafa mengaku bekerja di ladang untuk tanaman lain seperti bawang. Mustafa mengatakan dia telah melihat banyak orang, termasuk perempuan, menjadi kecanduan narkoba setelah bekerja di ladang opium.
“Kalau tidak ada narkoba yang ditanam di sini, mungkin tidak ada yang kecanduan narkoba. Opium membuat banyak orang ketagihan. Kami ingin pemerintah menghentikan penanaman opium. Pemerintah harus membantu kami menanam pohon buah-buahan yang baik,” katanya yang sebenarnya enggan menjadi pecandu.
Lebih sedikit produksi opium berarti lebih sedikit kecanduan narkoba, dan lebih sedikit pecandu narkoba yang sekarat, kematian yang menyedihkan dan memalukan, di negara di mana tidak ada yang lebih penting daripada keluarga, kehormatan, dan tradisi.
Sebelumnya, penjual opium di Afghanistan mengaku harga opium melonjak sejak Taliban kembali berkuasa. Meskipun ekonomi negara itu berada di ambang kehancuran, pengedar narkoba di selatan Afghanistan mengatakan harga resin opium meroket hampir tiga kali lipat!
“Itu haram (dilarang) dalam Islam, tapi kami tidak punya pilihan lain,” kata seorang penjual opium Masoom, di pasar, di dataran gersang Howz-e-Madad, provinsi Kandahar, melansir The National News.
Sejak Taliban mengambil alih kekuasaan pada 15 Agustus, harga opium – yang disuling menjadi heroin, meningkat lebih dari tiga kali lipat. Masoom mengatakan penyelundup sekarang membayarnya 100 USD per kilogram atau sekitar1,4 juta Rupiah.