MATA INDONESIA, JAKARTA – Kekalahan Belanda pada 1942 menyisakan orang-orang Belanda yang masih tinggal di Indonesia. Mereka pun langsung ditawan oleh pasukan Jepang di kamp-kamp yang biasa disebut Kamp Interniran.
Beberapa kamp interniran di Jakarta pada masa itu adalah kamp Cideng atau disebut Tjideng Kamp. Tidak kurang sekitar sepuluh ribu tahanan wanita dan anak-anak Belanda ditampung di sini.
Mereka yang masuk kamp kebanyakan orang-orang Belanda asli, sedang bagi mereka yang berdarah campuran (Indo) tidak dimasukan, mereka boleh tinggal di luar. Tetapi jika kebanyakan darah Belandanya juga tetap ditahan. Polisi Jepang pun akan memeriksa akte kelahiran orang-orang Belanda, dan pribumi.
Semula kamp ini berada di bawah pengawasan administrasi sipil dan kondisinya Tjideng Camp tidaklah jelek. Tetapi saat POW (prisoners of war) diawasi oleh militer Jepang, hidup tawanan yang tadinya tak terlalu buruk, berubah total.
Hak-hak pribadi lenyap. Uang dan perhiasan mereka diambil tentara Jepang. Kamp yang semula hanya dihuni sekitar 2.000 orang, dipaksa harus bisa menampung 10.500 orang. Tiap hari pun mereka harus apel menghadap ke utara, ke negeri Jepang dan Kaisar Jepang, di Laan Trivelli, sekarang Jalan Tanah Abang II.
Para tahanan mendengar perintah dari tentara, yaitu “Kiotskay” yang berarti “Perhatian”, lalu “Kiray” yang berarti “Membungkuk”, dan Nowray” yang berarti “Tegak Kembali”. Yang tidak melaksanakan akan mendapat siksaan dari tentara Jepang.
Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat pada Agustus 1945, para tahanan Kamp Cideng dibebaskan. Kondisi mereka sangat memprihatinkan. Badan mereka kurus karena kekurangan makanan.
Setelah 75 tahun berlalu, pada hari Minggu 3 Mei 2020, Yayasan Tjidengkamp akan menyelenggarakan Reuni Tjidengkamp ke-12 di Kumpulan van Bronbeek di Arnhem.
Peserta dapat mendaftar melalui formulir pendaftaran di situs http://www.tjidengkamp.nl. Program ini berfokus pada dua percakapan dengan audiens.
Satu percakapan tentang pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan Tjidengkamp. Pertemuan kedua akan diadakan testimoni yang diambil oleh peserta dan mantan Tjidengkamp.
Kemudian ada diskusi ruangan dipimpin oleh Coen Verbraak seorang jurnalis dan Joost van Bodegom mantan Ketua National Remembrance Foundation, 15 Agustus 1945.
Mantan Menteri Luar Negeri Ben Bot akan memperluas pengalaman pribadinya di Tjideng, Bersiap dan repatriasi, ke pandangannya tentang hubungan politik dengan Indonesia.