MATA INDONESIA, WASHINGTON – Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) ke-64 sekaligus perempuan pertama yang menduduki posisi tersebut, Madeleine Albright tutup usia.
Ia meninggal dunia pada usia 84 tahun akibat penyakit kanker, demikian dilaporkan pihak keluarga. Dalam sebuah pernyataan di Twitter, keluarga Madeleine menulis bahwa ia meninggal pada Rabu (23/3) dan dikelilingi oleh keluarga dan teman-teman.
Berita kematiannya muncul ketika juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price mengadakan pengarahan harian untuk wartawan.
“Dampak yang dia miliki di gedung ini terasa setiap hari di hampir setiap sudut. Dia adalah seorang pelopor,” kata Ned Price kepada awak media, melansir CBS News, Kamis, 24 Maret 2022.
Madeleine terjun ke dunia politik AS sebelum menjadi sekretaris negara di bawah mantan Presiden Bill Clinton tahun 1997. Madeleine bahkan menerima Presidential Medal of Freedom tahun 2012.
Bill Clinton dan sang istri yang merupakan mantan Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton merilis pernyataan bersama dan menyebut Madeleine sebagai sosok yang luar biasa.
“Hanya sedikit pemimpin yang sangat cocok untuk masa-masa di mana mereka menjabat. Sebagai seorang anak di Eropa yang dilanda perang, Madeleine dan keluarganya dua kali terpaksa meninggalkan rumah mereka,” kata Clinton.
“Ketika akhir Perang Dingin mengantarkan era baru saling ketergantungan global, dia menjadi suara Amerika di PBB, kemudian mengambil alih kendali. Di Departemen Luar Negeri, di mana dia adalah kekuatan yang bersemangat untuk kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia,” tuturnya.
Madeleine lahir sebagai Marie Jana Korbelova di Praha, Republik Ceko tahun 1937. Orang tuanya adalah orang Yahudi dan melarikan diri dari negara yang diduduki Nazi hanya dua tahun setelah kelahirannya.
Mereka pindah ke Inggris dan memeluk agama Katolik. Lebih dari dua lusin kerabat Madeleine, termasuk tiga kakek neneknya, dibunuh dalam Holocaust.
Madeleine tidak mengetahui jejak sejarah keluarganya – bahkan bahwa dia memiliki warisan Yahudi, sampai ditemukan oleh The Washington Post pada tahun 1997.
“Saya selalu menganggap diri saya sebagai seorang Katolik Cekoslowakia,” kata Madeleine dalam sebuah wawancara dengan The Washington Post saat itu.
“Orang tua saya adalah dari generasi yang mengira mereka adalah anak-anak dari Cekoslowakia yang bebas, satu-satunya demokrasi di Eropa tengah. Ini adalah kebanggaan mereka (dan) itulah yang saya tumbuhkan bersama,” sambungnya.
Keluarga Albright kembali ke Cekoslowakia setelah perang dan ayahnya menjabat sebagai Duta Besar Ceko. Akan tetapi mereka terpaksa melarikan diri lagi setelah negara itu jatuh dalam kudeta Komunis tahun 1949 dan datang ke AS sebagai pengungsi.
“Menjadi warga negara AS adalah hal terpenting yang pernah terjadi pada saya,” kata Madeleine dalam email kepada Presiden Barack Obama menjelang KTT Pengungsi PBB 2016.
“Ayah saya berkata bahwa ketika kami berada di Eropa selama Perang Dunia II, orang-orang akan berkata, ‘Kami turut berduka atas masalah Anda dan berharap bahwa Anda memiliki semua yang Anda butuhkan; ngomong-ngomong, kapan Anda akan pergi untuk kembali ke rumah?” tuturnya.
“Tetapi di Amerika, orang-orang berkata: ‘Kami turut berduka atas masalah Anda dan berharap Anda memiliki semua yang Anda butuhkan; ngomong-ngomong, kapan Anda akan menjadi warga negara?'” sambungnya.
Madeleine menyelesaikan pendidikannya di Wellesley College tahun 1959 – salah satu perguruan tinggi wanita paling bergengsi, kemudian mendirikan Institut Albright di almamaternya. Dia memperoleh gelar lebih lanjut di School of Advanced International Studies di Johns Hopkins University dan Columbia University.