MATA INDONESIA, JAKARTA – Terorisme ternyata bisa dikategorikan sebagai ekspresi balas dendam. Konflik komunal di Maluku dan Sulawesi Tengah, menjadi bukti. Konflik yang melibatkan agama menjadi pemicu hadirnya aksi teror yang didasari adanya rasa dendam terhadap kelompok lain yang berbeda.
Menurut penulis buku La Tay’as, Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya, Hasibullah Sastrawi bahwa penyebab terjadinya aksi terorisme tidak hanya disebabkan motif balas dendam melainkan terdapat beberapa faktor lainnya meliputi semangat keagamaan, kezaliman terhadap umat Islam, problem sosial-ekonomi, pertemanan dan keluarga serta hubungan guru dan murid.
Dari beberapa penyebab tersebut, Hasibullah menilai Teori Spiral kekerasan milik Dom Helder Camara bisa menjelaskan penyebab terorisme dan keterkaitannya satu dengan yang lain.
Spiral kekerasan ini disebabkan oleh tiga faktor yaitu ketidakadilan sosial-ekonomi, kekerasan pemberontakan sipil, dan represi Negara. Maka untuk memberantas pemikiran ini diperlukan cara yang komperhensif.
Sementara Hasibullah menekankan upaya deradikalisasi dengan melibatkan mantan pelaku terorisme dan korbannya. Melalui cara inilah pengalaman mantan pelaku terorisme bisa dibagikan kepada lingkungannya. Pengakuan atas kesalahannya di masa lalu dan permintaan maaf kepada korban atau terhadap diri sendiri bisa menjadi sisi lain yang bisa diangkat agar aksi terori tidak lagi terulang.
Sementara korban juga bisa membagikan kesedihannya sekaligus berupaya berdamai dengan keadaan. Intinya ikhlas menjadi kunci kebangkitan mereka.
Menurut Hasibullah, saat kekerasan dibalas dengan kekerasan, ketidakadilan dibalas ketidakadilan maka yang muncul adalah korban lain yang tidak bersalah. Maka rekonsiliasi antar pelaku teror dan korban bisa diwujudkan agar rantai terorisme bisa dihentikan.