Mahfud: Rekonsiliasi Jadi Budaya Politik Indonesia Usai Pemilu

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA – Kontestasi politik di Indonesia selalu berujung dengan rekonsiliasi. Keyakinan itu disampaikan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, karena sesuai dengan budaya politik yang telah lama ada di Indonesia.

“Rekonsiliasi selalu terjadi karena tidak bisa menghindar,” kata Mahfud di Sleman, DIY, Sabtu 29 Juni 2019.

Kata dia, politik di Indonesia tidak mungkin antarparpol bermusuhan selamanya. Karena itu, ia berharap para pendukung di akar rumput tidak terlalu berlebihan membela para calon yang didukung karena pada akhirnya mereka akan bersatu.

“Saya sejak dulu berharap rakyat itu di bawah tidak usah terlalu panas membela salah satunya. Membela ya membela tetapi kalau sampai panas gitu nanti kecewa sendiri karena toh pada akhirnya yang dibela sama saja akan bersatu,” kata dia.

Mahfud menilai persatuan atau upaya pendekatan antarpartai politik pascaputusan MK patut disyukuri. Meski demikian, masih diperlukan pendekatan langsung untuk kalangan masyarakat dengan menegaskan bahwa seluruh proses sengketa pemilu di MK telah usai.

“Sudah selesai tidak ada lagi musuh karena pemilu itu bukan untuk membangun musuh tetapi mencari pemimpin dan sesudah pemimpin terpilih ya diterima bersama,” kata dia.

Ia berharap para pemimpin yang terpilih pada Pemilu 2019 mulai berpaling meninggalkan berbagai kegaduhan politik yang berkaitan dengan pilpres dan mulai berkonsentrasi memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia.

“Urusan ribut-ribut politik sudah selesai, tinggal bagaimana agar para pemimpin terpilih di DPR maupun yang dieksekutif memperkuat gerakan pemberantasan korupsi,” kata Mahfud.

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini