Korban Selamat: Tragedi 9/11 adalah Bentuk Penyiksaan yang Paling Sadis!

Baca Juga

MATA INDONESIA, WASHINGTON – Sudah dua dekade serangan 11 September berlalu. Namun, luka, rasa sakit, dan trauma masih terasa dalam diri para korban selamat maupun keluarga.

Beberapa korban selamat hidup dengan luka fisik, sementara banyak dari  mereka yang berjuang keras dengan siksaan mental yang disebabkan oleh insiden mengerikan itu.

Salah satu korban selamat, Lauren Manning menderita luka bakar di lebih dari 80 persen tubuhnya. Ketika insiden itu, Lauren baru sama memasuki Menara Menara Utara World Trade Center, namun pesawat pertama yang dibajak menabrak gedung, mengirim bola api meluncur ke poros lift dan masuk ke lobi.

“Ada suara siulan yang sangat keras, menusuk, dan sesaat kemudian saya dilalap api. Rasa sakitnya tak terhitung, menghancurkan, menembus lebih dalam dan lebih dalam,” kata Lauren, melansir Sky News, Sabtu, 11 September 2021.

“Saya terbakar hidup-hidup. Tidak ada kata lain untuk itu. Dengan standar medis apa pun, saya seharusnya mati,” sambungnya.

Saat Lauren berjuang melawan api, dia berlari keluar dan melintasi jalan sebelum jatuh dan berguling-guling di tanggul rumput di mana seorang pria mencoba membantunya.

“Saya tidak jatuh dan mati dalam tumpukan api – saya berjuang melawan mereka. Saya berteriak kepadanya: ‘Keluarkan saya dari sini!” katanya.

Saat terbaring terluka parah, Lauren menyaksikan dengan ngeri bagaimana teroris menabrakkan pesawat kedua ke Menara Selatan World Trade Center. Dia melihat orang-orang jatuh dari gedung pencakar langit, mengetahui bahwa rekan-rekannya dari perusahaan keuangan Cantor Fitzgerald terjebak di lantai atas.

Sebanyak 658 karyawan perusahaan di kantornya tewas pada hari itu, 11 September 2001.

Di lapangan, Lauren – yang sebelumnya lolos dari pengeboman World Trade Center tahun 1993, berhasil menemukan ambulans tetapi peluangnya untuk bertahan hidup sangat tipis.

“Luka bakarnya luar biasa. Itu membakar 82,5 persen (tubuh saya). Lebih dari 20 persen adalah derajat keempat atau kelima, yang berarti Anda kehilangan otot atau tulang – jadi berbagai amputasi (diperlukan) pada jari di kedua tangan,” tuturnya.

Lauren dilarikan ke rumah sakit dan akhirnya mengalami koma sebelum dipindahkan ke pusat spesialis luka bakar. Selama tiga bulan saat ia dalam keadaan koma, suaminya Greg rajin membacakan puisi karya Robert Burns dan memainkan musik  dari hari-hari kencan mereka.

“Mungkin itu berdampak pada saya, mengetahui saya dicintai. Orang tua saya mengemudi berjam-jam dan selalu ada di sana setiap hari,” kenangnya.

Beberapa hari setelah bangun dari komanya, Tyler, putra Lauren yang saat itu berusia satu tahun, mengunjunginya untuk pertama kalinya sejak serangan itu.

“Saya sangat takut dia tidak mengenali saya. Dia datang ke aula dan di sana dia berjalan. Jiwa kecil yang cantik. Dia tidak mengenali saya pada awalnya …. tapi dia kembali ke arah saya dan dia mengenali saya, saya kira melalui mata dan suaranya,” sambungnya.

“Itu semua yang saya butuhkan,” ucapnya.

Lauren menghabiskan lebih dari enam bulan di rumah sakit tetapi pemulihannya – yang melibatkan beberapa operasi, memakan waktu hampir 10 tahun!

“Anda terbakar – yang mungkin merupakan bentuk penyiksaan manusia yang paling sadis, dan itu membutuhkan waktu bertahun-tahun,” katanya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Presiden Prabowo Pastikan Keberlanjutan Pembangunan IKN guna Pemerataan Ekonomi yang Inklusif

Oleh: Mirza Ghulam Fanany*) Pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya untuk memastikan keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai bagian dari...
- Advertisement -

Baca berita yang ini