Kinerja Fundamental Buruk, Hindari Saham Garuda Indonesia

Baca Juga

MINEWS, JAKARTA – Kinerja saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) sejauh ini masih belum membaik. Mengutip data dari RTI Business, sepanjang 5 tahun terakhir, harga saham GIAA turun sebesar 24,22%. Lalu selama sebulan terakhir juga turun 8,04%. Sementara pada akhir perdagangan pekan ini turun 7,58% ke level Rp 366 per saham.

Analis Samuel Sekuritas Muhammad Alfatih menjelaskan, penurunan harga saham GIAA tentu ada kaitannya dengan buruknya kinerja keuangannya selama beberapa tahun terakhir ini. ” Faktor lainnya adalah kenaikan harga minyak dunia beberapa hari ini serta melemahnya kembali nilai tukar rupiah atas dolar AS,” ujarnya Jumat sore, 28 Juni 2019.

Maka ia menganjurkan agar investor menghindari terlebih dahulu atau wait and see atas saham maskapai plat merah ini.

Analis Panin Sekuritas William Hartanto juga sependapat. Ia bilang buruknya kinerja keuangan GIAA menjadi sentimen negatif bagi pergerakan sahamnya.

“Saya kira dari situ aja penyebabnya dan memang masih ada aturan soal harga tiket kan, itu juga turut membuat investor ragu dengan saham ini,” kata William.

Ia juga menyarankan agar para pelaku pasar wait and see atas saham GIAA. “Saham yang berkasus sangat mungkin mental dan akan alami penurunan di jangka panjang, kecuali kasusnya segera berakhir,” ujar William.

Sekadar info, kinerja Garuda Indonesia memang tertekan beberapa tahun terakhir. Pada 2014 misalnya, perusahaan merugi sebesar US$370,04 juta. Beruntung, pada 2015 mencatatkan laba sebesar US$76,48 juta.

Tak bertahan lama, kinerja Garuda Indonesia justru merosot tajam pada 2016 menjadi hanya US$8,06 juta. Kemudian, perusahaan pun merugi pada 2017 sebesar US$216,58 juta.

Mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N. Mansury saat itu mengklaim penyebab kerugian karena ada biaya luar biasa yang dikeluarkan, yakni tax amnesty (pengampunan pajak) dan denda US$145,8 juta. Tanpa itu, kerugian yang dibukukan tak akan lebih dari US$67,6 juta.

Kerugian itu terus berlanjut sampai kuartal III 2018. Pada kuartal I misalnya, kerugian perusahaan sebesar US$65,34 juta dan akumulasi semester I tahun lalu kerugiannya US$116,85 juta. Lalu, sembilan bulan pertama 2018 tercatat rugi bersih US$114,08 juta, turun dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017 sebesar US$222,03 juta.

Membaiknya kerugian perusahaan maskapai penerbangan pelat merah itu dikarenakan peningkatan pendapatan usaha sebesar 3,21 persen menjadi US$3,21 miliar. Dengan kontribusi terbesar berasal dari penerbangan berjadwal sebesar US$2,56 miliar.

Hasilnya, neraca keuangan tahun lalu berhasil berubah 180 derajat menjadi untung. Tapi, hal itu tak diiringi dengan kenaikan pendapatan usaha yang signifikan.

Perusahaan meraih pendapatan usaha sebesar US$4,37 miliar sepanjang 2018. Angka itu hanya naik 4,79 persen dari posisi 2017 yang sebesar US$4,17 miliar.

Menariknya, pendapatan bersih lain-lain perusahaan melonjak 1.308 persen dari US$473,85 juta menjadi US$567,93 juta. Kenaikan signifikan itu ditopang oleh pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten sebesar US$239,94 juta.

Pada 2017, pendapatan kompensasi itu tercatat nol rupiah. Tak heran, lonjakan pendapatan lain-lain bersih terjadi tahun lalu.

Ditelisik lebih jauh, layanan konektivitas dalam penerbangan dan hiburan itu berasal dari kerja sama yang diteken Garuda Indonesia dengan Mahata pada 31 Oktober 2018 dan diperbaharui pada 26 Desember 2018 lalu.

Dalam kerja sama itu, Mahata berkomitmen untuk menanggung seluruh biaya penyediaan, pelaksanaan, pemasangan, pengoperasian, perawatan dan pembongkaran dan pemeliharaan termasuk jika ada kerusakan, mengganti atau memperbaiki peralatan layanan konektivitas.

Pemasangan peralatan layanan itu dipasang dalam penerbangan untuk 50 pesawat Garuda Indonesia tipe A320, 20 pesawat A330, 73 pesawat Boeing 737-800 NG, dan 10 pesawat Boeing 777 dengan nilai US$131,94 juta. Kemudian, layanan hiburan dipasang di 18 pesawat tipe A330, 70 pesawat Boeing 737-800 NG, satu pesawat Boeing 737-800 Max, dan 10 pesawat Boeing 777 dengan nilai US$80 juta.

Tapi, pihak Mahata sebenarnya belum membayar satu sen pun dari total kompensasi yang disepakati US$239,94 juta kepada Garuda Indonesia hingga akhir 2018. Namun, manajemen memutuskan untuk mencatatkannya sebagai pendapatan.

Hal ini membuat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menjatuhkan sanksi kepada auditor laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) dan Entitas Anak untuk periode 2018. Sanksi ini diberikan karena pengakuan pendapatan atas perjanjian kerjasama antara Garuda dengan PT Mahata Aero Teknologi diindikasikan tidak sesuai dengan standar akuntansi. Akuntan publik Garuda ini diberikan sanksi tertulis dan pembekuan izin selama setahun ke depan. (Krisantus de Rosari Binsasi)

Berita Terbaru

Pemerintahan Prabowo-Gibran Berkomitmen Mewujudkan IKN Sebagai Kota Ramah Lingkungan

Oleh: Dewi Ambara* Indonesia kini memasuki era baru dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Dipimpin oleh Presiden...
- Advertisement -

Baca berita yang ini