Baru-baru ini, publik internasional dikejutkan oleh insiden tragis yang melibatkan Glen Malcolm Conning, seorang pilot asal Selandia Baru, yang dibunuh secara brutal oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Distrik Alama, Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Pembunuhan tersebut telah memicu kecaman luas dan menyoroti tantangan yang dihadapi Papua dalam mengatasi konflik yang telah berlangsung lama.
Glen Malcolm Conning, yang bekerja di Intan Angkasa Air Service, menjadi korban kebiadaban OPM ketika helikopternya mendarat di Distrik Alama pada 5 Agustus 2024. Menurut laporan Kepala Operasi Satgas Damai Cartenz 2024, Brigjen Pol. Dr. Faizal Ramadhani, setelah mendarat, Conning dan penumpangnya disergap oleh kelompok bersenjata yang kemudian mengeksekusi Conning dan membawanya kembali ke helikopter yang lalu dibakar bersama dengan helikopter tersebut.
Pembunuhan ini adalah contoh tragis dari eskalasi kekerasan yang terus berlanjut di Papua. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyampaikan belasungkawa mendalam kepada keluarga Conning dan menekankan bahwa tindakan ini merupakan pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan internasional. Perlindungan warga sipil harus menjadi prinsip fundamental yang selalu dijunjung tinggi, dan penargetan serta pembunuhan terhadap warga sipil adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
Penyelidikan yang transparan dan adil menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa para pelaku kejahatan ini diadili dan tindakan serupa tidak terulang di masa depan. Eksaminasi forensik dan otopsi jenazah korban harus dilakukan dengan cermat sebagai bagian dari upaya ini.
Insiden ini juga menggarisbawahi kompleksitas konflik bersenjata di Papua, di mana warga sipil sering menjadi korban kekerasan dari berbagai pihak, baik itu kelompok bersenjata negara maupun non-negara. Amnesty International Indonesia mencatat bahwa sejak awal 2024, terdapat lima kasus penembakan terhadap pesawat sipil yang diduga dilakukan oleh kelompok bersenjata pro-kemerdekaan di Papua. Situasi ini semakin memperparah penderitaan warga sipil di wilayah tersebut, yang sudah lama hidup di bawah bayang-bayang kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Seperti yang kita ketahui, kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua, atau yang dikenal sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM), sering kali menargetkan pesawat sipil dengan dalih bahwa pesawat-pesawat tersebut digunakan oleh militer Indonesia untuk mengangkut pasukan dan perlengkapan militer ke zona konflik di Papua. Klaim ini menjadi pembenaran bagi kelompok tersebut untuk menyerang pesawat sipil yang dianggap masuk ke wilayah mereka.
Namun, aksi kekerasan seperti ini, termasuk pembunuhan dan penyanderaan warga sipil, jelas melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan internasional. Tindakan semacam ini tidak hanya merugikan individu yang menjadi korban langsung, tetapi juga memperburuk situasi konflik dan merusak upaya untuk mencapai perdamaian di Papua. Setiap pihak yang terlibat dalam konflik ini harus memahami bahwa penargetan warga sipil adalah pelanggaran serius yang tidak dapat diterima dalam keadaan apapun.
Bukan hanya dari aparat keamanan saja, namun seluruh masyarakat setempat juga turut mengecam dengan sangat keras bagaimana tindak keji OPM tersebut, terlebih mereka justru memutarbalikkan fakta dengan membuat narasi provokatif dan propaganda bahwa gerakan yang dilakukan OPM untuk kebaikan rakyat Papua.
Penyanderaan warga negara Selandia Baru lainnya, Phillip Mehrtens, sejak Februari 2023 oleh OPM yang dipimpin oleh Egianus Kogoya, juga menjadi contoh lain dari pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan internasional. Meskipun kelompok ini mengklaim bahwa mereka bertindak dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Papua, tindakan mereka jelas melanggar Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi 1979 tentang Pengambilan Sandera, yang keduanya melarang penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap warga sipil.
Dalam situasi ini, penting bagi pemerintah tetap fokus pada penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan, sekaligus memperkuat upaya dialog dan rekonsiliasi di Papua. Penyelesaian konflik yang berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui pendekatan yang komprehensif, termasuk melalui dialog yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Peningkatan pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan di Papua adalah langkah penting, tetapi harus disertai dengan upaya serius untuk mendengarkan aspirasi masyarakat setempat dan mencari solusi damai.
Kejahatan terhadap Glen Malcolm Conning dan kasus-kasus serupa lainnya adalah pengingat yang kuat bahwa konflik di Papua memerlukan perhatian yang lebih besar dari komunitas internasional. Perlindungan hak asasi manusia harus menjadi prioritas utama dalam setiap upaya penyelesaian konflik, dan semua pihak harus bertanggung jawab atas tindakan mereka. Pemerintah, dengan dukungan internasional, harus memastikan bahwa keadilan ditegakkan dan bahwa kekerasan seperti ini tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Papua.
Kejahatan brutal yang menimpa Glen Malcolm Conning adalah tragedi yang menyakitkan, tetapi juga harus menjadi titik balik dalam upaya untuk menghentikan siklus kekerasan di Papua. Hanya dengan penegakan hukum yang tegas, dialog yang inklusif, dan komitmen terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan, kita dapat berharap untuk melihat Papua yang lebih damai dan stabil di masa depan.