Mata Indonesia, Yogyakarta – Presiden dan Wakil Presiden hasil Pemilu 2024 telah resmi dilantik pada 20 Oktober 2024. Pemilu ini menuai banyak kritik karena dianggap sebagai momen suram dalam sejarah demokrasi Indonesia pasca-reformasi 1998, sebagaimana diakui oleh sejumlah pakar dan lembaga demokrasi.
Catatan hitam Pemilu ini pun menjadi sorotan oleh Forum Cik Di Tiro, sebuah kelompok masyarakat sipil lintas sektor di Jogja yang menuntut keadilan atas mantan Presiden RI, Joko Widodo.
Dalam keterangannya yang diterima, Forum Cik Di Tiro mengkritisi nilai-nilai demokrasi yang direnggut hingga banyaknya intervensi politik sejauh Pemilu 2024 digelar.
Puncak krisis demokrasi terlihat saat Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden. Langkah ini didahului oleh dugaan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) dan KPK, disertai mobilisasi aparat hukum serta distribusi bantuan sosial yang kontroversial.
Para pengamat menilai bahwa demokrasi Indonesia mengalami pelemahan sistemik yang lebih mengutamakan stabilitas kekuasaan ketimbang kepentingan publik. Fenomena ini ditandai dengan lima isu utama, di anataranya, oligarki politik, politik dinasti, pembatasan kebebasan berekspresi, intervensi terhadap MK, dan pelemahan KPK. Kondisi ini memperlihatkan kemunduran demokrasi, menyerupai situasi di Filipina.
Inisiator Forum Cik Di Tiro, Prof Masduki menilai bahwa pemilu kemarin hanyalah sebatas prosedural. Pemilu hanya menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan politik dinasti dan elit oligarki. Hal itu dimulai dari wacana perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode yang sempat mencuat, meski akhirnya gagal karena penolakan publik.
“Namun, upaya anti-demokrasi tetap berlangsung melalui putusan kontroversial MK yang meloloskan Gibran sebagai calon Wakil Presiden meski tidak memenuhi batas usia minimal,” kata Masduki dikutip Kamis 9 Januari 2025.
Forum Cik Di Tiro juga menyoroti terkait Kabinet Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dilantik pada 20 Oktober 2024. Dengan jumlah menteri sebanyak 48 orang, kabinet ini lebih besar dibanding Kabinet Indonesia Maju periode kedua Jokowi. Langkah ini dinilai sebagai cara untuk mengakomodasi kepentingan politik pendukung, termasuk relawan dan kepentingan Presiden sebelumnya.
Implikasi yang muncul adalah biaya operasional yang meningkat dan krisis legitimasi, mengingat posisi Gibran diperoleh melalui jalur kontroversial.
“Selain itu, manuver serupa dilakukan menjelang Pilkada 2024, dengan perubahan aturan persyaratan usia untuk calon kepala daerah yang menguntungkan keluarga Jokowi,” tambah dia.
Kritik terhadap Institusi DPR, MA, dan Polri
DPR menjadi sorotan setelah mencoba merevisi UU Pilkada dengan mengadopsi putusan MA alih-alih putusan MK. Badan Legislatif DPR mengaku sepakat dengan pemerintah untuk melakukan revisi UU Pilkada, dengan janji mengadopsi putusan MK tersebut. Namun, ternyata rencana revisi UU itu mengadopsi putusan MA, bukan putusan MK yang seharusnya secara hierarki hukum lebih tinggi.
Keputusan DPR tersebut memicu aksi protes besar-besaran di berbagai kota. Pada 22 Agustus 2024, aksi itu digalang melalui media sosial dan jejaring percakapan dengan tagline dan gambar segi empat biru bergambar lambang Garuda Pancasila warna putih
dengan tulisan “Peringatan Darurat”.
Institusi Polri juga menuai kritik karena diduga berpihak dalam Pemilu dan Pilkada. Hal itu untuk memenangkan calon yang diusung penguasa khususnya Jokowi. Para personel polisi dituding mengintimidasi pihak lain yang berseberangan dengan calon yang diusung penguasa. Kapolri sudah membantah tudingan tersebut, meskipun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Dalam aplikasinya, Polri tercatat menggunakan pendekatan kekerasan selama gelaran demokrasi tersebut. Amnesty International mencatat ratusan kasus kekerasan dalam pengamanan aksi protes damai sepanjang 2024 saat tagar Peringatan Darurat kemarin.
Dalam 100 hari awal pemerintahan baru, terlihat gejala resentralisasi kekuasaan yang mengancam otonomi daerah. Langkah ini berpotensi mengikis keberagaman dan kearifan lokal, yang merupakan fondasi kebinekaan Indonesia.
Maka dari itu, Forum Cik Di Tiro menuntut pengadilan publik atas mantan Presiden Joko Widodo atas sikap
abai dan membiarkan tirani mayoritas dalam politik nasional selama berkuasa (2014-2024).
Mereka juga mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bergerak melawan penguasa tirani demi keberlangsungan praktik demokrasi yang sehat di Indonesia.