MATA INDONESIA, JAKARTA – Semua orang tentu memiliki masa lalu dan masa depan begitu juga dengan mantan narapidana terorisme (napiter). Mereka memiliki kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Maka memarjinalkan eks napiter dan keluarganya justru akan semakin membuat mereka masuk dalam lingkaran kekerasan bahkan kembali menjadi teroris.
Meski sudah keluar dari tahanan namun para napiter masih rentan terpapar oleh ideologi radikalisme. Terlebih bila masyarakat di lingkungan tidak menerima kehadirannya. Penolakan sejenis ini justru bisa menimbulkan efek kebencian. Seperti halnya kasus Juhanda dari Kalimantan Timur, napiter yang akhirnya kembali lagi menjadi teroris.
Stigmaisasi terhadap para napiter ternyata bisa menimbulkan efek besar karena bisa memicu untuk kembali ke lembah kelam terorisme.
Maka, penanganan yang komperhensif terhadap napiter semasa di lapas harus dilakukan secara serius terutama proses deradikalisasi.
Pengamat intelijen dan terorisme Stanislaus Riyanta menilai bahwa pemerintah bisa bekerja sama dengan sejumlah aktor non negara. Tidak hanya itu ia juga menekankan agar pemerintah bisa meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap para napiter.
“Tugas pemerintah untuk menangani napiter selama di lapas dan pemerintah bisa bekerja sama dengan aktor non pemerintahan untuk melakukan proses deradikalisasi napiter. Selain itu juga perlu meningkatkan kapasitas masyarakat agar bisa menerima mantan napiter,” kata Stanislaus saat berbincang dengan Mata Indonesia, Jumat 29 Januari 2021.
Selain itu pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan harus ditingkatkan lagi di sektor pendidikan formal di Indonesia agar generasi-generasi baru dapat menangkal radikalisme sejak dini.