Menanggapi terbitnya surat edaran terkait pengawasan minuman beralkohol, Sosiolog UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto, mengapresiasi langkah tersebut. Menurutnya, pengawasan peredaran minuman keras (miras) di Yogyakarta selama ini belum optimal, meski kota ini dikenal sebagai Kota Pelajar dan destinasi wisata dengan tingkat mobilitas penduduk yang tinggi.
Derajad mengungkapkan bahwa masalah miras tidak hanya sebatas jual beli, tetapi juga terkait akses masuknya barang ini. Banyak warga Yogyakarta bukan penduduk asli, sehingga distribusi miras menjadi sulit dikendalikan.
“Peredaran miras jangan hanya dilihat dari jual belinya, tetapi juga dari masuknya barang ini yang terbuka dari berbagai jalur, mengingat Yogyakarta dihuni banyak penduduk luar,” ujar Derajad Kamis, 14 November 2024.
Instruksi gubernur yang diterbitkan segera setelah insiden penusukan yang melibatkan dua santri ini dinilai responsif, walaupun idealnya pemerintah sudah sejak awal bisa mengantisipasi perlunya pengendalian miras.
Selama ini, industri miras beroperasi tersembunyi dan tidak terpantau pemerintah. Regulasi yang ada hanya efektif di sektor formal, sedangkan pengawasan di sektor informal, tempat peredaran miras lebih sulit dikontrol, masih minim.
“Instruksi ini bagus meskipun agak terlambat. Saat ini belum ada badan khusus yang fokus mengawasi jual beli miras, dan regulasi yang ada masih terbatas di sektor formal,” tutur Derajad.
Ia menilai, sektor informal industri miras berperan besar dalam perekonomian kota, dengan situasi yang digambarkannya seperti gunung es, di mana aktivitas yang terlihat hanyalah sebagian kecil, sementara peredaran bawah tanah sulit dikendalikan.
Industri miras juga dianggapnya berkontribusi pada perekonomian Yogyakarta, khususnya di sektor pariwisata. Minimnya pengawasan membuat aliran uang dari sektor ini sulit dilacak. Baru-baru ini, Polresta Yogyakarta menemukan bahwa lebih dari 90 persen outlet menjual miras ilegal dan menindak mereka.
“Karena ini merupakan ekonomi bawah tanah, pengawasannya sulit. Tidak hanya distribusinya, kualitas produk juga harus diawasi, terutama miras oplosan,” jelas Derajad.
Derajad menekankan pentingnya memahami industri miras sebelum mencoba menekan peredarannya. Ia menyarankan agar jual beli miras diatur lebih terpusat sehingga pengawasan dan implementasi regulasi dapat lebih mudah dilakukan.
“Saran saya adalah legalisasi penjualan miras namun pusatkan penjualannya. Dengan cara ini, kita dapat mengidentifikasi penjual, pembeli, dan aliran uangnya,” tambah Derajad.
Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2024 tentang Optimalisasi Pengendalian dan Pengamanan Minuman Beralkohol mencakup inventarisasi peredaran miras, peran pemerintah daerah, hingga larangan penjualan daring dan sistem pesan antar. Namun, regulasi ini belum menentukan pihak yang bertanggung jawab langsung atas pengawasan miras, sehingga penerapannya masih belum optimal.
Menurut Derajad, pengawasan ini perlu melibatkan dua pihak, pertama, masyarakat dengan keahlian mengenali berbagai jenis miras, terutama karena beredarnya miras racikan. Masyarakat lokal memiliki pemahaman yang lebih mendalam terhadap peredaran produk ini.
Kedua, perlu dibentuk lembaga khusus untuk pengawasan berkelanjutan, mulai dari jenis produk hingga aliran ekonominya.
“Pengawasan juga harus meliputi jenis produk. Banyak jenis anggur dan miras dengan kadar alkohol berbeda. Pakar dari industri perhotelan, misalnya, lebih memahami detail ini dan harus dilibatkan,” pungkas Derajad.
Diketahui, Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2024 tentang pengendalian miras dan minuman beralkohol di DIY muncul setelah kasus penusukan seorang santri di Prawirotaman, Kota Yogyakarta, pada 23 Oktober 2024.
Kasus bermula dari pertikaian antara pelaku dan pihak lain sehari sebelumnya, di mana keesokan harinya pelaku bersama rekan-rekannya menenggak miras dan mencari target yang dimaksud.
Namun, sasaran mereka justru mengarah pada dua santri yang tidak tahu-menahu dan menjadi korban pengeroyokan hingga salah satunya mengalami luka tusukan.
Kasus ini mendapat reaksi keras dari ormas Banser yang berjanji akan bertindak jika polisi tidak segera menangkap para pelaku.
Setidaknya tujuh tersangka telah ditangkap oleh Polresta Yogyakarta terkait insiden penusukan tersebut.
Berlaku sejak 30 Oktober
Sekda DIY, Benny Suharsono mengatakan bahwa Ingub tersebut berlaku sejak 30 Oktober 2024 lalu. Pemkab dan Pemkot wajib memberlakukan pengendalian miras termasuk pengawasannya.
“Sudah kami sampaikan ke bupati dan wali kota termasuk diinformasikan ke DPRD DIY. Lalu ditembuskan juga ke Kemendag,” kata Benny.
Benny menjelaskan beberapa hal penting dalam Ingub tersebut adalah miras yang hanya diperbolehkan beredar setelah mengantongi izin.
“Jadi 15 hari setelah Ingub disahkan harus ada laporan dari masing-masing pemkab dan pemkot,” katanya.