MATA INDONESIA, JAKARTA – Pencapaian positif untuk kinerja ekspor dan impor Indonesia di tahun 2021. Surplus neraca perdagangan yang mencapai USD 35,34 miliar akan meningkatkan resiliensi ekonomi Indonesia menghadapi tantangan di 2022.
Indikator itu tergambar dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS), mengenai kinerja impor bahan baku atau penolong maupun barang modal yang mendukung aktivitas produksi. Artinya, sektor industri pengolahan berkontribusi positif pada kinerja perdagangan luar negeri pada 2022. Termasuk menjadi penopang surplus neraca perdagangan.
BPS menyebut kinerja ekspor sepanjang 2021 mencapai USD 231,54 miliar, naik 41,88 persen dari 2020 sebesar USD 163,1 miliar. Kinerja ekspor tahun lalu juga berhasil melampaui rekor tertinggi sepanjang sejarah pada 2011, sebesar USD 203,6 miliar.
Sementara itu, dari sisi impornya, kinerja dari Januari–Desember 2021 mencapai USD196,20 miliar. Naik 38,59 persen dari periode yang sama pada 2020 yang mencapai USD141,57 miliar. Artinya, sepanjang 2021, neraca perdagangan mengalami surplus USD 35,34 miliar.
Kinerja surplus sepanjang 2021 berasal dari nilai ekspor yang mencapai USD 231,54 miliar atau tumbuh double digit sebesar 41,88 persen (yoy). Hilirisasi komoditas unggulan, seperti turunan produk CPO, berhasil mendorong performa ekspor Indonesia.
Hal tersebut tercermin dari ekspor komoditas lemak dan minyak hewan/nabati (HS 15). Sepanjang 2021 mencapai USD 32,83 miliar atau meningkat sebesar 58,48 persen (yoy).
Selain CPO, hilirisasi komoditas nikel juga memperkuat performa ekspor Indonesia. Dengan pertumbuhan ekspor komoditas nikel dan barang daripadanya (HS 75) mampu tumbuh sebesar 58,89 persen (yoy) menjadi sebesar USD 1,28 miliar.
Dari 10 besar komoditas utama ekspor, komoditas bijih logam, terak dan abu (HS 26) mengalami pertumbuhan tertinggi. Yakni 96,32 persen (yoy) menjadi sebesar USD6,35 miliar. Setelah itu ekspor komoditas besi dan baja (HS 72) yang juga naik signifikan mencapai 92,88 persen (yoy) menjadi senilai USD 20,95 miliar.
”Pencapaian ini mengindikasikan pemulihan ekonomi Indonesia terus berlanjut. Tercermin pula dari meningkatnya penciptaan nilai tambah pada sektor manufaktur. Terbukti secara kumulatif, ekspor non migas hasil industri pengolahan Januari–Desember 2021 naik 35,11 persen (yoy) menjadi sebesar USD 177,11 miliar,” kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Pernyataan Airlangga Hartarto juga diamini oleh Mendag Muhammad Lutfi. Dia menyakini surplus perdagangan tetap berlanjut ke depannya. Tidak itu saja, industri pengolahan berorientasi ekspor bernilai tambah akan memainkan peran penting dalam menekan defisit.
Dia mencatat, empat dari lima produk penyumbang ekspor terbesar merupakan produk industri pengolahan yakni produk minyak sawit, besi dan baja, otomotif, dan elektronik.
Penurunan kasus Covid-19 yang terjadi secara konsisten dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2021 membuat pemerintah dapat memberlakukan pelonggaran pembatasan mobilitas. Kondisi ini memberikan kelancaran aktivitas ekonomi sehingga mendorong kenaikan pada aggregate demand.
Alhasil, sektor manufaktur juga terstimulasi untuk meningkatkan output produksinya. Meski pemerintah tetap mewaspadai fenomena meningkatnya kasus varian Omicron yang perkiraanya akan mencapai puncaknya pada akhir Januari atau awal Februari 2022 ini.
Menurut Airlangga Hartarto, kinerja neraca perdagangan yang positif itu patut terus dipertahankan. “Dalam rangka itu, pemerintah dengan mengoptimalkan berbagai kebijakan, terutama dalam mendorong semakin banyaknya ekspor komoditas bernilai tambah,” kata Menko Airlangga.