MATA INDONESIA, JAKARTA – Situasi global termasuk di Indonesia kedepannya semakin suram. Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut situasi global saat ini berimbas pada sektor keuangan. Bank sentral di sejumlah negara telah menaikkan suku bunga acuan, yang membuat risiko stabilitas keuangan global meningkat.
Penasihat Keuangan Dana Moneter Internasional dan Kepala Departemen Moneter dan Pasar Modal IMF, Tobias Adrian, Rabu 12 Oktober 2022, mengatakan inflasi dan risiko geopolitik membuat tekanan yang berat pada keuangan global.
”Untuk menghindari tekanan inflasi yang mengakar, bank sentral mempercepat pengetatan kebijakan moneter. Terlebih pada negara maju dan berkembang. Risiko kerentanan menjadi lebih besar,” ujar Adrian.
Ia mengatakan, kondisi global tersebut akan membuat kerentanan sektor keuangan. Termasuk kenaikan utang pemerintah hingga lembaga keuangan non bank, seperti asuransi, dana pensiun, dan reksa dana secara global. Imbal hasil obligasi yang meningkat membuat biaya pinjaman menjadi lebih tinggi di banyak negara dan perusahaan.
”Pasar global menunjukkan kerentanan, karena investor menjadi lebih menghindari risiko di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi,” ujarnya.
Selain itu, risiko di pasar negara berkembang juga meningkat, sejalan dengan penerbitan obligasi negara dalam dolar AS dan mata uang lainnya. Menurutnya, banyak negara akan mencari sumber alternatif pembiayaan.
Sementara untuk perbankan secara global, permodalan dan likuiditas masih cukup. Namun, IMF juga memberikan peringatan bahwa hal ini tidak akan cukup di beberapa bank. Menurut Adrian, jika pengetatan kebijakan semakin tajam dan resesi global terjadi tahun depan, sebanyak 29 persen bank di negara berkembang akan sulit mencukupi kebutuhan modal.
”Jika pengetatan tajam kondisi keuangan menyebabkan resesi global tahun depan di tengah inflasi yang tinggi, 29 persen bank pasar berkembang (berdasarkan aset) akan melanggar persyaratan modal. Sebagian besar bank di negara maju akan jauh lebih baik,” katanya.
Kondisi global juga membuat tekanan pada perusahaan, utamanya perusahaan kecil. Spread kredit yang melebar, biaya yang tinggi, telah menguras keuntungan perusahaan. Bahkan menurut laporan IMF, kebangkrutan pada perusahaan kecil mulai menunjukkan peningkatan.
“Untuk perusahaan kecil, kebangkrutan sudah mulai meningkat karena biaya pinjaman yang lebih tinggi dan dukungan fiskal yang berkurang,” jelas dia.