MATA INDONESIA, TEHERAN – Ebrahim Raisi, seorang ulama ultrakonservatif terpilih menjadi Presiden Iran. Ia menggantikan posisi Hassan Rouhani yang sudah dua periode menjabat.
Pemilu yang digelar pada Jumat (18/6) berlangsung ketat, menyusul tiga dari tujuh calon Presiden Iran lain menggundurkan diri. Sepanjang masa kampanye, Raisi mengedepankan pemberantasan korupsi sebagai bagian penting dari programnya.
Akan tetapi, para oposisi dan pengkritik justru mengatakan sebaliknya, lembaga politik Iran yang korup dan represif telah menjadi bagian yang akrab bagi Raisi –salah satu oposisi yang kuat di pemerintahan Iran era Hassan Rouhani.
Bukan hanya itu, Raisi juga dituduh oleh para kritikus pelanggaran hak asasi manusia yang berlangsung selama beberapa dekade. Namun, tuduhan tersebut disangkal oleh para pembelanya.
“Raisi adalah pilar sistem yang memenjarakan, menyiksa, dan membunuh orang karena berani mengkritik kebijakan negara,” kata Hadi Ghaemi, direktur eksekutif kelompok advokasi Pusat Hak Asasi Manusia di Iran (CHRI) yang berbasis di New York, dalam sebuah pernyataan. Pernyataan, melansir Reuters, Minggu, 20 Juni 2021.
Pada pemilu tahun 2017, Raisi maju dalam pemilihan umum Presiden Iran. Akan tetapi, saat itu ia kalah dari Hassan Rouhani yang kembali menjabat untuk kali kedua.
Media Iran menilai, Raisi yang lahir pada 1960 di sebuah desa di dekat kota suci Masyhad merupakan pengganti Pemimpin Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Hal tersebut bukan mustahil, mengingat Raisi yang kerap memakai sorban hitam itu adalah anak didik Khamenei saat mengenyam pendidikan seminari di Qom.
Usai Revoulusi Islam tahun 1979, Raisi belia bergabung dengan kantor kejaksaan di Masjed Suleyman. Dan sejak saat itu, Raisi berhasil mengepalai kantor kejaksaan di sejumlah daerah.
Raisi juga termasuk dalam kubu ultrakonservatif yang tidak percaya Amerika Serikat dan menganggap Paman Sam sebagai Setan Besar. Tak mengherankan bila ia menjadi oposisi Presiden Rouhani –yang lebih moderat terhadap Barat, khususnya AS.