MATA INDONESIA, GAZA – Setelah pertempuran selama 11 hari dan menelan 232 jiwa warga Palestina dan 12 warga Israel, Hamas dan Israel akhirnya mengumumkan gencatan senjata.
Keputusan ini tak terlepas dari peran Mesir sebagai mediator. Sementara Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden berjanji untuk menyelamatkan Jalur Gaza yang hancur dengan bantuan kemanusiaan setelah pertempuran terburuk selama beberapa tahun terakhir.
Keputusan gencatan senjata ini membuat warga Palestina membanjiri jalan-jalan di Gaza. Pengeras suara masjid merayakan “kemenangan perlawanan yang diraih atas Pendudukan (Israel) selama pertempuran ‘Pedang Yerusalem’.”
Dalam hitungan mundur ke gencatan senjata pukul 2 pagi (2300 GMT Kamis) waktu setempat, serangan roket Palestina berlanjut dan Israel melakukan setidaknya satu serangan udara.
Masing-masing pihak menegaskan siap membalas setiap pelanggaran gencatan senjata oleh pihak lain. Kairo mengatakan akan mengirim dua delegasi untuk memantau gencatan senjata.
Kekerasan meletus pada 10 Mei, yang dipicu oleh kemarahan warga Palestina menyusul pengekangan hak-hak mereka di Yerusalem oleh Israel, termasuk konfrontasi antara polisi Israel dengan jamaah di masjid Al-Aqsa selama bulan Suci Ramadan.
Pertempuran tersebut juga membuat banyak warga Palestina di Gaza tidak bisa merayakan Hari Raya Idul Fitri sebagaimana mestinya.
Pejabat kesehatan Gaza mengatakan 232 warga Palestina, termasuk di antaranya 65 anak-anak meninggal dunia dan lebih dari 1.900 warga lainnya terluka dalam pemboman udara. Sementara Israel mengatakan telah menewaskan sedikitnya 160 kombatan.
Pihak berwenang menyebutkan jumlah korban tewas di pihak Israel sebanyak 12 orang, dengan ratusan orang dirawat karena cedera dalam serangan roket yang menyebabkan kepanikan dan membuat warga mengungsi ke tempat penampungan.
Hamas –kelompok militan Islam yang menguasai Gaza, menganggap pertempuran itu sebagai perlawanan yang berhasil dari musuh yang lebih kuat secara militer dan ekonomi. Di Israel, rasa lega terasa pahit.
“Bagus bahwa konflik akan berakhir, tapi sayangnya saya merasa kita tidak punya banyak waktu sebelum eskalasi berikutnya,” kata Eiv Izyaev, seorang insinyur perangkat lunak di Tel Aviv, melansir Reuters, Jumat, 21 Mei 2021.
Di tengah kekhawatiran global yang meningkat, Presiden Biden telah mendesak Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengupayakan de-eskalasi, sementara Mesir, Qatar, dan PBB berusaha menengahi.
Dalam pidato yang disiarkan televisi pada Kamis (20/5), Biden menyampaikan belasungkawa kepada warga Israel dan Palestina yang berduka seraya mengatakan, Washington akan bekerja dengan PBB dan pemangku kepentingan internasional lainnya untuk memberikan bantuan kemanusiaan untuk Gaza dan rekonstruksi.
Biden mengatakan bantuan akan dikoordinasikan dengan Otoritas Palestina – dijalankan oleh saingan Hamas, Presiden Mahmoud Abbas, dan berbasis di Tepi Barat yang diduduki Israel.
Hamas sebelumnya menuntut agar setiap penghentian pertempuran di Gaza harus disertai dengan penarikan pasukan Israel di Yerusalem.
Adapun Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mengatakan bahwa para pemimpin Israel dan Palestina memiliki tanggung jawab di luar pemulihan ketenangan untuk mengatasi akar penyebab konflik.
“Gaza adalah bagian integral dari negara Palestina di masa depan dan tidak ada upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional yang nyata yang mengakhiri perpecahan,” kata Guterres.