Caplok Sultan Ground, PT KAI Digugat Rp1000, Pengamat: Harus Tunduk Aturan Keistimewaan Yogyakarta

Baca Juga

YOGYAKARTA – Kasultanan Yogyakarta mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta, terkait kepemilikan tanah yang diklaim sebagai aset PT KAI.

Kuasa Hukum Kasultanan Yogyakarta, Markus Hadi Tanoto mengatakan bahwa gugatan yang dilakukan kliennya bukanlah terkait perebutan lahan sebagaimana yang diberitakan beberapa media.

“Karena memang lahan tersebut secara hukum adalah milik Kasultanan yang secara sengaja didaftarkan PT KAI sebagai aset milik perusahaan tersebet.” kata Markus dalam keterangannya pada Rabu 6 November 2024.

Menurutnya, pihak Kasultanan hanya ingin mengajak PT KAI tertib administrasi dan taat pada aturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

“Terbukti di dalam gugatan Kasultanan hanya meminta PT KAI tertib administrasi dan patuh pada aturan perundangan yang berlaku, apalagi permasalahan ini sudah dilakukan bertahun tahun namun PT KAI tidak mengindahkannya bahkan cenderung mengulur waktu,” katanya.

“Terkait Kasultanan yang meminta ganti rugi sebesar Rp1000. Hal ini menunjukkan Kasultanan tidak pernah memberatkan masyarakatnya,” ujarnya.

Lebih lanjut Markus juga menjelaskan mengapa Kasultanan terkesan ‘diam-diam’ dalam melakukan gugatan ini, semata mata karena kliennya meminta untuk menjaga perasaan masyarakat Yogyakarta.

“Ada banyak pihak yang harus kami jaga perasaannya, terutama masyarakat Yogyakarta”.

Sementara itu, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala menilai jika gugatan yang dilakukan Kasultanan Yogyakarta untuk mengingatkan PT KAI agar menghormati administrasi tanah milik Sultan Ground.

“Kalau melihat kasus PT KAI dengan Kasultanan Yogyakarta itu sebenarnya adalah jelas Sultan Ground itu yaa, itu tanah dari awal, artinya itu mirip dengan tanah negara, tapi disebut Sultan Ground. Jadi KAI harusnya tunduk dengan status keistimewaan Yogyakarta,” kata Kamilov.

Sehingga menurutnya, jika ingin memanfaatkan lahannya, maka harus dengan seizin Sultan. Kamilov memandang bahwa gugatan yang dilakukan Kasultanan Yogyakarta ingin menegaskan agar PT KAI bisa menghormati dan tidak mendaftarkannya sebagai aset miliknya.

“Penghormatan dalam arti apa? asetnya. Sebenernya sultan tidak mempermasalahkan kalo digunakan untuk kepentingan umum, tapi jangan dicatat jadi milik sendiri gitu, artinya menjadi aset milik PT KAI, itu namanya ngelunjak!” katanya.

Terlebih, kata dia, gugatan ganti rugi yang diajukan oleh Kasultanan Yogyakarta hanya senilai Rp1000.

“Ini kalau anak-anak itu itu dijewer telinganya, itu terlihat dalam gugatannya dituntut Rp1000,” kata Kamilov.

Kamilov mengatakan bahwa PT KAI seharusnya jangan bertahan dengan dasar-dasar yang diyakininya saja. Padahal, kata dia, landasan itu dari zaman Belanda awalnya adalah Sultan Ground yang dikuasai penjajah dan dibangun stasiun dan rel kereta api.

“Nah Belanda punya senjata punya kekuatan, sehingga waktu itu sultan tidak mau melakukan upaya-upaya yang sifatnya kekerasan. Biarin aja, suatu waktu merdeka kok negara ini, terbukti kan,” lanjutnya.

Dengan kondisi sudah merdeka, Kamilov menilai jika pihak Kasultanan Yogyakarta berhak untuk meminta kembali hak atas aset yang saat itu dikuasai oleh Belanda.

“Jadi kalau saya berpikir harusnya PT KAI tidak bisa melakukan yang sifatnya perlawanan dengan kepemilikan tanahnya sendiri yang jelas-jelas milik Sultan Ground, artinya dia harus tunduk, atau duduk lagi lah ngomong apakah sifatnya sewa-menyewa,” tambahnya.

Sehingga,kata dia, KAI jangan mengakui seperti seolah-olah itu asetnya sendiri. “Itu yang membuat dilakukannya gugatan di pengadilan,” ujarnya.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pusaran Konflik di Pantai Sanglen Gunungkidul

Mata Indonesia, Yogyakarta - Berangkat dari penutupan akses masuk Pantai Sanglen, Kemadang, Gunungkidul, yang dilakukan oleh Kraton Yogyakarta dan Obelix. Warga setempat, yang selama ini memanfaatkan lahan Pantai Sanglen untuk bertani dan mencari nafkah, merasa terpinggirkan. Mereka khawatir pengembangan pariwisata berskala besar akan mengabaikan kesejahteraan masyarakat lokal dan merusak lingkungan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini